Islam Di Nusantara Dan Tranformasi Kebudayaan Melayu
Oleh:
Abdul Hadi W. M.
Sebenarnya apa yang disebut orang melayu
bukanlah suatu komunitas etnik atau sukubangsa sebagaimana dimengerti banyak
orang dewasa ini. Ia sebenarnya mirip dengan bangsa atau kumpulan etnik-etnik
serumpun yang menganut agama yang sama dan menggunakan bahasa yang sama. Ke
dalamnya melebur pula penduduk keturunan asing seperti Arab, Persia, Cina dan
India, disamping keturunan dari etnik Nusantara lain. Semua itu dapat terjadi karena
selain mereka hidup lama bersama orang Melayu, karena juga memeluk agama yang
sama serta menggunakan bahasa Melayu dalam penuturan sehari-hari. Inilah yang
menyebabkan orang Melayu memiliki keunikan tersendiri dibanding misalnya orang
Jawa atau Sunda.
Etnik-etnik serumpun lain pada umumnya
menempati suatu daerah tertentu. Tetapi orang Melayu tidak. Mereka tinggal di
beberapa wilayah yang terpisah, bahkan di antaranya saling berjauhan. Namun di
mana pun berada, bahasa dan agama mereka sama, Melayu dan Islam. Adat istiadat
mereka juga relatif sama, karena didasarkan atas asas agama dan budaya yang
sama. Karena itu tidak mengherankan apabila Kemelayuan identik dengan Islam,
dan kesusastraan Melayu identik pula dengan kesusastraan Islam. Bagi mereka
yang tidak mengetahui latar belakang sejarahnya fenomena ini tidak mudah
dipahami. Untuk itu uraian tentang sejarahnya sangat diperlukan.
Setidak-tidaknya ada delapan faktor yang
menyebabkan orang Melayu mengidentifikasikan diri dan kebudayaannya dengan
Islam. Pertama, faktor perdagangan; kedua, perkawinan, yaitu antara pendatang
Muslim dengan wanita pribumi pada tahap awal kedatangan Islam; ketiga, faktor
politik seperti mundurnya kerajaan Hindu dan Buddha seperti Majapahit dan
Sriwijaya; keempat, faktor kekosongan budaya pasca runtuhnya kerajaan Buddhis
Sriwijaya di kepulauan Melayu; kelima, hadirnya ulama sufi atau faqir bersama
tariqat-tariqat yang mereka pimpin; keenam, pengislaman raja-raja pribumi oleh
para ulama sufi atau ahli tasawuf; ketujuh, dijadikannya bahasa Melayu sebagai
bahasa penyebaran Islam dan bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan
Islam; delapan, mekarnya tradisi intelektual baru di lingkungan
kerajaan-kerajaan Melayu sebagai dampak dari maraknya perkembangan Islam.
Faktor perdagangan telah sering dikemukakan.
Agama Islam muncul di Nusantara disebabkan kehadiran pedagang-pedagang Muslim
dari negeri Arab dan Persia sejak abad ke-8 dan 9 M. Dengan ramainya kegiatan
pelayaran dan perdagangan yang dilakukan kaum Muslimin pada abad-abad berikutnya,
terutama dari abad ke-11 hingga abad ke-17 M, perkembangan agama Islam ikut
marak pula. Pada mulanya komunitas Islam tumbuh di kota-kota pesisir yang
merupakan pelabuhan utama atau transit pada zamannya. Di sini tidak sedikit
pedagang Muslim asing itu tinggal lama dan kawin mawin dengan penduduk
setempat. Semua itu merupakan cikal bakal berkembangnya komunitas Islam di
Nusantara. Kegiatan perdagangan dan penyebaran Islam kemudian juga melibatkan
penduduk pribumi, termasuk orang Melayu dan etnik-etnik pesisir lain yang
meleuk agama Islam. Tradisi dagang (merantau untuk berniaga) lantas tumbuh di
kalangan etnik pesisir ini.
Islam
dan Kepulauan Melayu
Masuk dan berkembang pesatnya agama Islam di
Indonesia pada abad ke-13 – 17 M memunculkan banyak pendapat yang berbeda-beda
bahkan saling bertentangan. Khususnya tentang darimana agama ini datang dan
siapa yang membawanya masuk. Begitu pula mengenai saluran-saluran komunikasi
yang digunakan sehingga memungkinkan agama ini diterima secara luas oleh penduduk
Nusantara dalam waktu yang relatif singkat. Semula diduga bahwa yang membawa
dan memperkenalkan agama ini di kawasan ini ialah pedagang-pedagang dari
Gujarat, India. Sejak itu perdagangan dipandang sebagai saluran utama bagi
pesatnya perkembangan Islam di kepulauan Nusantara. Tetapi penelitian lebih
lanjut menunjukkan bahwa faktornya sangat kompleks. Sebelum berkembang pesat,
Islam harus menempuh jalan yang berliku-liku dan rumit serta panjang, dan
faktornya bukan hanya perdagangan semata-mata.
Bukti-bukti yang lebih absah seperti
berita-berita Arab, Persia, Turki, dan teks-teks sejarah lokal memperkuat
keterangan bahwa Islam hadir di kepulauan Nusantara dibawa langsung dari negeri
asalnya oleh pedagang-pedagang Arab, Persia dan Turki. Gujarat dan bandar-bandar
lain di India seperti Malabar dan Koromandel hanyalah tempat persinggahan saja
sebelum mereka melanjutkan pelayaran ke Asia Tenggara dan Timur Jauh. Pada abad
ke-12 dan 13 M, disebabkan banyaknya kekacauan dan peperangan di Timur Tengah
termasuk Perang Salib, mendorong penduduk Timur Tengah semakin ramai melakukan
kegiatan pelayaran ke Asia Tenggara (Hasan Muarif Ambary 1998; Azyumardi Azra
1999).
Faktor yang turut menentukan bagi bertambah
ramainya kegiatan perdagangan bangsa Arab dan Persia di Asia Tenggara ialah
invasi beruntun bangsa Mongol yang dipimpin oleh Jengis Khan ke atas
negeri-negeri Islam sejak tahun 1220 M yang berakhir dengan jatuhnya
kekhalifatan Baghdad pada 1258 M. Peristiwa ini mendorong terjadinya gelombang
perpindahan besar-besaran kaum Muslimin ke India dan ke Asia Tenggara. Bersama
mereka hadir pula sejumlah besar faqir dan sufi pengembara dengan pengikut
tariqat yang mereka pimpin (John 1961; Ismail L. Faruqi 1992).
Kepulauan Melayu merupakan gerbang masuk
terdepan bagi pelayaran ke timur. Karena itu tidak heran jika kerajaan-kerajaan
Islam awal seperti Samudra Pasai (1270-1514 M) dan Malaka (1400-1511 M) muncul
di sini. Kerajaan-kerajaan ini tumbuh dari pelabuhan atau bandar dagang, dan
menjadi kerajaan Islam setelah rajanya memeluk agama Islam. Dengan munculnya
kerajaan-kerajaan ini maka perlembagaan Islam, termasuk lembaga pendidikan,
dapat didirikan. Semua itulah yang memungkin penyebaran agama Islam dan
transformasi budayanya dapat dilakukan.
Faktor lain bagi pesatnya perkembangsan Islam
ialah mundurnya perkembangan agama Hindu dan Buddha, mengikuti surutnya
kerajaan Hindu dan Buddha yang diikuti oleh mundurnya peranan politiknya. Abad
ke-13 M ketika agama Islam mulai berkembang pesat di kepulauan Melayu, sebagai
contoh, ditandai dengan mundurnya kerajaan Sriwijaya atau Swarnabhumi. Pusat
imperium Buddhis di Nusantara ini mulai mengalami kemunduran disebabkan
ronngrongan dua kerajaan Hindu Jawa – Kediri dan Singasari – disusul dengan
krisis ekonomi yang membelitnya. Seabad berikutnya negeri ini dua kali diserbu
Majapahit, sebuah imperium Hindu yang mulai bangkit di Jawa Timur. Serbuan
terakhir pada penghujung abad ke-14 M menyebabkan negeri itu hancur dan tamat
riwayatnya (Wolter 1970).
Mundurnya kerajaan Sriwijaya menyebabkan
daerah-daerah taklukannya melepaskan diri dan muncul menjadi kerajaan-kerajaan
kecil yang merdeka. Di antaranya ialah Lamuri, Aru, Pedir, Samalangga dan
Samudra di pantai timur, dan Barus di pantai barat. Menjelang akhir abad ke-13
M, kerajaan-kerajaan kecil itu berhasil dipersatukan dan bergabung di bawah
imperium baru, Samudra Pasai. Setelah rajanya yang pertama, Meura Silu memeluk
agama Islam dan berganti nama menjadi Malik al-Saleh, kerajaan ini berubah
menjadi kerajaan Islam. Pada tahun 1340 M Sriwijaya diserbu oleh Majapahit yang
menjadikan negeri itu semakin lemah dan kehilangan pamor. Sebaliknya Samudra
Pasai, walaupun juga digempur oleh Majapahit dan banyak sekali harta kerajaan
itu yang dirampas, masih dapat melanjutkan eksistensinya sebagai bandar dagang
utama di Selat Malaka.
Pada tahun 1390 M raja terakhir Sriwijaya,
Paramesywara yang masih muda, berhasrat memulihkan kedaulatan negerinya. Lantas
ia memaklumkan diri sebagai titisan (avatara) Boddhisatwa. Ini membuat murka
penguasa Majapahit. Ibukota Sriwijaya lantas diserbu sekali lagi dan kali ini
dihancur leburkan. Bersama ratusan sanak keluarga, karib kerabat, pendeta dan
pegawainya, Paramesywara berhasil melarikan diri. Mula-mula ke Temasik,
Singapura sekarang, dan akhirnya ke Malaka di mana dia mendirikan kerajaan
baru. Karena letaknya yang strategis, Malaka segera berkembang menjadi bandar
dagang regional yang penting di Selat Malaka.Pada tahun 1411 M, Paramesywara
memeluk agama Islam setelah menikah dengan putri raja Pasai. Maka negerinya
muncul menjadi kerajaan Islam baru kedua setelah Samudra Pasai (Wolter 1970).
Begitulah sejarah awal pesatnya perkembangan
agama Islam di kepulauan Nusantara. Berbeda dengan agama Buddha yang hadir
sebagai agama elite aristokratik, walaupun dipeluk juga oleh masyarakat di luar
istana dan vihara, tetapi budaya baca tulis dan tradisi intelektualnya tidak
meluas ke tengah masyarakat. Sebab pendidikan diperuntukkan hanya untuk kaum
bangsawan. Islam hadir sebagai agama egaliter dan populis. Agama ini tidak mengenal
sistem kasta dan kependetaan, dan karenanya memungkinkan keterlibatan segenap
lapisan masyarakat dalam seluruh bidang kehidupan, termasuk dalam pendidikan
dan intelektual. Lembaga pendidikan Islam sejak awal dibuka untuk segenap
lapisan masyarakat dan golongan. Lagi pula Islam adalah agama kitab. Belajar
menulis dan membaca diwajibkan bagi seluruh pemeluknya. Demikianlah, dengan
berkembangnya Islam membuat tradisi keterpelajaran lambat laun juga berkembang.
Karena itu, menurut al-Attas (1972), datangnya
Islam menyebabkan kebangkitan rasional dan intelektual yang bercorak religius
di Nusantara yang tidak pernah dialami sebelumnya. Kecuali itu Islam juga
mendorong terjadinya perubahan besar dalam jiwa bangsa Melayu dan
kebudayaannya. Islam menyuburkan kegiatan ilmu dan intelektual serta
membebaskan mereka dari belenggu mitologi yang menguasai jiwa mereka
sebelumnya. Hadirnya Islam membuka lembaran baru dan menyebabkan terjadinya
proses perubahan sosial, ekonomi dan politik yang sangat mendasar (Kern 1917;
Schrieke 1955). Lebih jauh lagi, oleh karena pesatnya perkembangan ini dihantar
oleh maraknya kegiatan pelayaran dan perdagangan, sedangkan Islam memiliki
kecenderungan terhadap aktivisme keduniaan dan sosial, maka ethos dan budaya
dagang pun bangkit di kalangan etnik yang memeluk agama ini, terutama yang
tinggal di pesisir.
Tahapan
Perkembangan Islam
Agama Islam berkembang tahap demi tahap di
kepulauan Nusantara, melalui jalan yang berliku-liku dan berbeda di daerah yang
satu dengan yang lain. Masa-masa penyebarannya itu juga tidak berjalan serentak
di wilayah yang berbeda-beda. Ketika di suatu kawasan baru berada dalam tahap
pengenalan dasar-dasar dan pokok ajaran agama, di daerah lain telah memasuki
fase pengenalan implikasi-implikasi rasional dan intelektual dari ajaran Islam
tentang Tauhid. Secara umum tahapan-tahapan perkembangan itu dari abad ke-13
s/d awal abad ke-20 dapat dibagi lima.
Tahap I, dari awal abad ke-13 M hingga
pertengahan abad ke 15 M, dapat disebut tahapan pemelukan secara formal. Yang
ditekankan ialah pengenalan dasar-dasar kosmopolitanis Islam, ketentuan dasar
pelaksanaan syariat agama dan fiqih.
Tahap II, dari akhir abad ke-15 hingga akhir
abad ke-16 M. Periode ini proses islamisasi kepulauan Melayu berjalan dengan
pesat diikuti kian tersebarnya Islam ke berbagai pelosok Nusantara. Berkat
meningkatnya tingkat pemahaman dan pendidikan yang diperoleh kaum Muslimin,
ajaran Islam kian dipahami lebih mendalam. Memeluk agama Islam tidak sekadar
formalitas. Di kepulauan Melayu dan pesisir Jawa tradisi intelektual Islam
mulai terbentuk. Kitab-kitab keagamaan dan sastra Islam telah ditulis dengan
produktifnya dalam bahasa Melayu dan Jawa Madya. Pengaruh tasawuf sangat
dominan dalam pemikiran keagamaan dan penulisan karya sastra. Implikasi rasional
dan intelektual dari ajaran Islam kian dilibatkan dalam penyebaran agama Islam.
Pada masa ini kita menyaksikan semakin terintegrasinya kebudayaan Melayu dengan
Islam.
Tahap III berlangsung pada abad ke-17 M,
adalah tahapan penyempurnaan pemahaman ajaran Islam dan tradisi intelektualnya.
Pada masa ini kita menyaksikan suburnya penulisan sastra dan kitab keagamaan
dalam bahasa Melayu. Pokok-pokok yang dibahas dalam kitab-kitab Melayu meliputi
bidang-bidang seperti fiqih ibadah dan muamalah, fiqih duali (ketatanegaraan),
syariah, usuluddin, kalam, tasawuf falsafah dan tasawuf akhlaq, tafsir
al-Qur’an, ilmu hadis, eskatologi, historiografi, tatabahasa (nahwu), retorika,
ilmu ma`ani (semantik), estetika (balaghah), astromomi, ilmu hisab, perkapalan,
ekonomi dan perdagangan, sastra dan seni, ketabiban, farmasi, dan lain-lain.
Kemajuan yang dicapai di bidang intelektual ini mempermantap kedudukan dan
perkembangan bahasa Melayu.
Tahap IV pada abad ke-18 – 19, terjadi proses
ortodoksi atau penekanan terhadap syariah. Ini memberi dampak besar bagi
perkembangan tariqat. Beberapa tariqat sufi mengalami pembaruan dan tumbuh
menjadi organisasi keagamaan yang kian memberikan perhatian pada aktivisme
keduniaan. Pada abad ke-18 dan 19 M proses ortodoksi ini mendorong lahirnya
gerakan anti-kolonial yang merata di seluruh kepulauan Nusantara. Pengaruh
gerakan pemurnian agama yang muncul di Arab Saudi pada akhir abad ke-18,
Wahabisme, semakin memperkuat kecenderungan pada syariat dan fiqih. Tidak
berarti tasawuf falsafah terhambat perkembangannya. Pada tahapan ini Islam
muncul sebagai kekuatan efektif menentang kolonialisme. Sementara itu proses
islamisasi juga terus berlangsung, bahkan kian deras dan Islam semakin
mengukuhkan diri sebagai faktor inetgratif atau pemersatu bangsa Indonesia.
Tahap V munculnya gerakan pembaharuan
(tajdid). Gerakan-gerakan keagamaan tumbuh menjadi gerakan kebangsaan. Sebagian
seperti SI (Sarekat Islam) menekankan pada perjuangan politik, sebagian lagi
seperti Muhammadiyah menekankan pada bidang sosial seperti pendidikan dan
dakwah. Islam tradisional juga bangkit, ditandai dengan berdirinya organisasi
seperti NU. Lembaga pendidikan tradisional, khususnya pesantren, mengalami
revitalisasi dan dari waktu ke waktu kian relevan sebagai model pendidikan
alternatif di tengah derasnya proses sekularisasi pendidikan nasional. Walaupun
umat Islam tidak berhasil menyalurkan aspirasinya dalam bidang politik sejak
Pemilu 1955, namun bangunan budayanya masih tetap utuh.
Pada tahapan pertama, daya tarik Islam yang
menyebabkan penduduk Nusantara memeluk agama ini ialah watak dan semangat
egaliternya, serta kehidupan pemeluknya yang awal yang terdiri dari para
pedagang yang kaya, makmur dan terpelajar. Dengan memeluk agama ini penduduk
pribumi berpeluang meningkatkan taraf hidup dan status sosialnya. Misalnya
dapat berpartisipasi dalam perdagangan regional dan antar pulau, serta dapat
memasukkan anak-anak mereka ke lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan di
mana saja terdapat komunitas Muslim. Melalui cara itu pula mereka menjadi
bagian dari masyarakat kosmopolitan dan naik martabatnya. Sudah menjadi
kebiasaan di mana saja terdapat komunitas Islam dalam jumlah besar, di situ
hadir pula para pendakwah dan guru agama. Masjid-masjid didirikan, begitu pula
madrasah. Pengajian-pengajian diselenggarakan secara intensif.
Penggunaan kesenian sebagai media dakwah
merupakan daya tarik yang lain. Inilah yang dilakukan wali sanga di Jawa
seperti Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga dan Sunan
Gunungjati. Seorang sejarawan Persia abad ke-15 M yang tinggal lama di Malabar,
Zainuddin al-Ma`bari, menulis dalam bukunya Tuhfat al-Mujahidin bahwa banyak
penduduk India Selatan dan Nusantara tertarik memeluk agama Islam setelah
menyaksikan dan mendengar pembacaan riwayat hidup dan perjuangan Nabi Muhammad
s.a.w. yang disampaikan dalam bentuk syair dan dinyanyikan. Terutama dalam
peringatan Maulid Nabi (Ismail Hamid 1983). Yang dimaksud Zainuddin al-Ma`bari
ialah pembacaan Kasidah Burdah, Syaraful Anam, Syair Rampai Maulid, dan yang
sejenis itu yang hingga sekarang masih kita saksikan di kalangan masyarakat
Muslim tradisional di seluruh dunia Islam. Media kesenian ini pulalah yang
digunakan para wali di Jawa dan tariqat-tariqat sufi, seperti misalnya
pembacaan Rawatib Syekh Samman, Rawatib Syekh Abdul Jadir Jailani, dan
lain-lain.
Kian meningkatnya jumlah Muslim pribumi dari
berbagai etnik dalam jaringan dan kegiatan perdagangan, menyebabkan terjadinya
perubahan sosial dan ekonomi. Mereka yang tinggal di kota-kota pelabuhan mulai
banyak yang meninggalkan pasar tradisional, menjadi perantau dan pelayar yang
tangguh. Dengan demikian mobilitas sosial terjadi baik secara horisontal maupun
secara vertikal. Etos dan budaya dagang juga berkembang. Ini bisa kita lihat
pada etnik-etnik Pesisir yang telah lama memeluk Islam dan menjadikan Islam
sebagai bagian dari dirinya seperti Minangkabau, Bugis, Makassar, Banjar,
Madura, Jawa Pesisir, Palembang, dan lain-lain. Mereka adalah di antara
sukubangsa-sukubangsa Nusantara yang memiliki budaya dagang yang kuat. Khusus
etnik Bugis, Makassar, dan Madura, memiliki tradisi pelayaran jarak jauh yang
tangguh hinggga kini. Semua itu merupakan dampak dari kedatangan dan
perkembangan Islam.
Pemakaian bahasa Melayu sebagai media
penyebaran agama dan bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan, terutama
sejak abad ke-16 M, memudahkan penduduk Nusantara di kota-kota pelabuhan
memahami ajaran Islam dan sekaligus memudahkan orang-orang Islam dari berbagai
etnik itu saling berkomunikasi dan berinteraksi. Ditambah lagi dengan kesamaan
agama yang mereka anut. Sebagai dampaknya, sebagaimana terjadi pada akhir
tahapan kedua nanti, bahasa Melayu mengalami proses islamisasi yang begitu
deras. Yaitu dengan diserapnya ratusan kata-kata Arab dan Persia, yang tidak
sedikit di antaranya adalah istilah-istilah tehnis ilmu-ilmu agama dan falsafah
Islam. Derasnya proses islamisasi bahasa Melayu itu tampak secara menonjol
dalam risalah dan syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri, seorang cendikiawan sufi
abad ke-16 M. Dalam karya-karyanya itu kita menjumpai lebih 2000 kata-kata Arab
diserap dalam bahasa Melayu (Abdul Hadi W. M. 2000). Pemakaian huruf Arab
Melayu juha meluas. Tidak hanya penulis kitab Melayu menggunakan huruf ini,
tetapi juga penulis dari daerah lain di kepulauan Nusantara seperti Jawa,
Sunda, Madura, Bugis, Makassar, Banjar, Sasak, Minangkabau, Mandailing,
Palembang, Bima, Ternate dan lain-lain.
Demikianlah segera setelah agama Islam
berkembang pesat, segera pula agama ini memperlihatkan watak dan wajah
kebudayaannya yang berbeda dari dua agama sebelumnya, Hindu dan Buddha yang
lebih dahulu hadir di Asia Tenggara. Perbedaannya yang menyolok ialah: Pertama,
dalam Islam hanya ada teks suci tunggal yang utuh dan mantap, karena itu tidak
membingungkan penganutnya. Dalam agama Hindu dan Buddha terdapat banyak teks
suci yang sukar dipelajari penganutnya yang awam. Kedua, ajaran ketuhahan dan
sistem peribadatan Islam lebih sederhana dan jelas, serta mudah dipahami. Ia
mengharuskan hubungan mesra antara penganutnya dengan Sang Khaliq tanpa
perantaraan pendeta. Ketiga, Islam adalah agama yang egaliter sebagaimana telah
dijelaskan. Tiadanya sistem kasta mendorong penduduk kepulauan Nusantara cepat
tertarik pada agama ini. Dengan masuk Islam mereka berpeluang besar menjadi
pemimpin keagamaan dan masyarakat asal saja memenuhi syarat seperti memperoleh
pendidikan yag juga terbuka kepada semua lapisan dan golongan masyarakat.
Kecuali itu para pendakwah Islam yang awal
dalam menyampaikan khotbah-khotbahnya menggunakan bahasa yang mudah dipahami,
namun jelas pesan yang ingin disampaikannya tanpa perlu melakukan pendangkalan.
Baru pada tahapan kedua implikasi rasional dan intelektual dari pokok-pokok
ajaran Islam, seperti Tauhid, dilibatkan dalam mengomunikasikan ajaran Islam.
Demikianlah penyampaian ajaran Islam dan jiwa kebudayaannya itu tahap demi
tahap pada akhirnya sampai juga ke tujuannya (Braginsky 1998).
Karena yang penting memberikan dasar-dasar
keimanan yang kuat, dan memperkenalkan kosmopolitanisme Islam sebagai pegangan
hidup, pada tahap awal ini tidak dirasakan perlu menyertakan
implikasi-implikasi rasional dan intelektual yang terlalu jauh sehubungan
dengan konsep Tauhid yang merupakan ajaran sentral Islam (al-Attas 1972).
Pengajaran dan ceramah tentang berbagai perkara berkenaan dengan keimanan dan
ketaqwaan, atau yang bersangkut paut dengan rukun Islam dan rukun iman,
dirasakan cukup memadai. Tentunya dengan menggunakan uraian yang mudah dicerna.
Begitu pula ceramah yang berhubungan dengan ide-ide kemasyarakatan dalam Islam,
disampaikan sesederhana mungkin.
Tidak diperlukannya uraian yang bercorak
intelektual sebagian disebabkan karena pemahaman tentang Tauhid atau
kepercayaan akan keesaan Tuhan dalam pikiran penduduk Nusantara masih kabur.
Konsep-konsep ketuhanan yang diajarkan Hinduisme dan Syamanisme masih
berpengaruh. Jika implikasi rasional dan inetelektual dari Tauhid disertaka,
maka kemungkinan akan terjadi kekaburan yang membingungkan (al-Attas 1972) Yang
dapat dilakukan untuk mengikis pengaruh kepercayaan lama itu ialah dengan
memperkenalkan dasar-dasar kosmopolitanisme Islam. Dasar-dasar kosmoplitanisme
Islam itu antara lain ialah pandangan bahwa hidup di dunia ini bersifat
sementara, sedang kampung halaman manusia sebenarnya ialah akhirat.
Dari Pasai dan Aceh, Islam kemudian tersebar
ke wilayah-wilayah lain di kepulauan Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam pun
bermunculan di pulau-pulau lain sejak abad ke-16 M setelah penguasa setempat
memeluk agama Islam dan kerajaannya terlibat dalam kegiatan perdagangan
regional. Di Jawa muncul kerajaan Demak, Banten, Pajang, Mataram, Cirebon dan
Madura pada abad ke-16 – 17 M; di Maluku kerajaan Ternate dan Tidore pada abad
ke-16 juga; di Sulawesi Buton, Selayar dan Gowa, di Nusatenggara Bima dan
Lombok, di Kalimantan Banjarmasin dan Pontianat, dan seterusnya pada abad ke-17
dan 18 M (Hasan Muarif Ambary 1998). Di kepulauan Melayu sendiri pusat-pusat
kekuasan dan peradaban Islam yang lain juga muncul menyusul kemunduran Aceh
Darussalam sejak awal abad ke-18 M. Misalnya Palembang, Johor, Riau,
Banjarmasin, Minangkabau, dan lain-lain.
Tidak banyak ekspedisi militer diperlukan
dalam proses islamisasi itu Yang paling aktif bergerak ialah para wali dan
sufi, atau para pemimpin tariqat dengan gilda-gilda mereka. Sumber-sumber
sejarah lokal banyak memberikan keterangan ini. Misalnya Hikayat Raja-raja
Pasai (ditulis pada akhir abad ke-14 M) yang menceriterakan bahwa raja Samudra
Pasai dan penduduk negeri itu diislamkan oleh Syekh Ismail, seorang faqir yang
berlayar bersama 70 pengikutnya dari Yaman. Gibb (1957) mengatakan kepada kita
bahwa seorang musafir Arab dari Maroko, Ibn Batutah yang mengunjungi negeri itu
pada tahun 1345-6 M, memberitakan bahwa raja negeri itu sangat egaliter dan
suka berbincang dengan ulama-ulama madzab Syafii dan para cendekiawan Persia
dari Bukhara dan Samarqand. Dia berjalan kaki ke masjid setiap hari Jumat. Usai
salat Jumat sang raja biasa bertatap muka dan berbincang dengan orang
kebanyakan sebelum kembali ke istana.
Tiga
Lingkaran Pusat Peradaban
Faktor penting lain yang menyebabkan Islam
berkembang pesat ialah penempatan pusat-pusat lingkaran peradaban di tiga titik
yang tepat, yaitu Istana, Pesantren dan Pasar (Taufik Abdullah 1988, dalam
Sidiq Fadil 1991). Istana sebagai pusat kekuasaan berperan di bidang politik
dan penataan kehidupan sosial. Di sini dengan dukungan ulama yang terlibat
langsung dalam birokrasi pemerintahan, hukum Islam dirumuskan dan diterapkan.
Di sini pula kitab sejarah ditulis sebagai landasan legitimasi bagi penguasa
Muslim. Pesantren berperan di bidang pendidikan, dan merupakan pusat kebudayaan
kedua setelah istana. Di sini jaringan-jaringan pengajian agama di lingkungan
masyarakat luas dibangun, di kota atau pun di pedesaan, begitu pula tema-tema
pengajian. Di sini pula kitab-kitab keagamaan ditulis dan disalin untuk
disebarkan.
Peran pesantren, atau dayah dan meunasah di
Aceh, surau di Minangkabau, semakin menonjol pada abad ke-18 M di seluruh
pelosok Nusantara. Ia sekaligus berperan sebagai pusat kegiatan tariqat sufi.
Lembaga yang semula bersifat kedaerahan ini berkembang menjadi lembaga
supra-daerah yang kepemimpinan dan peserta didiknya tidak lagi berdasarkan
kesukuan. Ia tumbuh menjadi lembaga universal yang menerima guru dan murid
tanpa memandang latar belakang suku dan daerah asal. Pada masa itulah pesantren
atau dayah mampu membentuk jaringan kepemimpinan intelektual dan penyebaran
agama dalam berbagai tingkatan dan antar-daerah (lihat juga Azyumardi Azra
1999).
Sedangkan pasar berperan di bidang ekonomi
dan perdagangan. Pasar merupakan daerah pemukiman para saudagar, kaum
terpelajar dan kelas menengah lain, termasuk para perajin, yang berhadapan
langsung dengan situasi kultural yang sedang berkembang. Di sini orang dari
berbagai etnik dan ras yang berbeda-beda bertemu dan berinteraksi, serta
bertukar pikiran tentang masalah perdagangan, politik, sosial dan keagamaan. Di
sini pula perkembangan bahasa Melayu mengalami dinamika yang menentukan bagi
luasnya penyebarannya ke berbagai wilayah Nusantara lain. Di tengah komunitas
yang majemuk ini tentu saja terdapat masjid yang merupakan tempat mereka
berkumpul dan menghadiri pengajian-pengajian keagamaan. Di sini pula
madrasah-madrasah didirikan, dan buku-buku keagamaan didatangkan dari negeri
Arab dan Persia, dikirim ke pesantren untuk disalin, disadur atau diterjemahkan
agar dapat disebarluaskan. Di sini pula dirancang strategi penyebaran agama
mengikuti jaringan-jaringan emporium yang telah mereka bina sejak lama. Tentu
saja tiga titik pusat lingkaran peradaban ini saling mendukung satu dengan yang
lain, dan saling berinteraksi. Ini tercermin dalam tatanan kota yang dibangun
pada zaman kejayaan imperium dan emporium Islam.
Kota-kota Islam di Nusantara dibangun
mengikuti model kota di negeri Arab dan Persia. Ia berbeda dengan kota-kota
pada zaman Hindu dan kota-kota lama di Eropa. Kota-kota lama di Eropa dibangun
dengan menempatkan istana sebagai bagian yang terpisah dari keseluruhan tatanan
kehidupan kota. Kota-kota Islam menempatkan istana sebagai bagian integral dari
kehidupan kota. Dengan begitu istana tidak terasing dan dapat berinteraksi
secara dinamis dengan pusat-pusat peradaban di luarnya seperti lembaga pendidikan
dan pasar. Model kota seperti itu memungkinkan istana mempengaruhi kebudayaan
kota dengan kuat lewat kehidupan di pesantren dan pusat pemukiman para
saudagar, perajin dan cendikiawan yang disebut Pasar atau Bazzar (Fylstinsky
1971, melalui Braginsky 1998).
Penataan kota seperti itu dan penempatan tiga
titik lingkaran pusat peradaban, semakin efektif berfungsi ketika proses
islamisai memasuki tahapan kedua. Yaitu ketika implikasi rasional dan filosofis
dari konsep Tauhid mulai disertakan dalam menyampaikan ajaran Islam. Dan
terutama sekali pada tahapan ketiga nanti. Islam tidak cukup diterima secara
formal atau berdasarkan aspek legallistik formal. Jika itu yang ditekankan,
maka Islam tidak akan berakar sedemikian mendalam di dalam jiwa, pikiran dan
pandangan hidup penduduk Nusantara.
Pendalaman terhadap ajaran Islam pada tahapan
kedua ini dilakukan dengan pengenalan konsep-konsep metafisika, epistemologi,
etika dan estetika sufi. Pada masa ini ulama-ulama pribumi mulai mengambil alih
peranan ulama dari luar, termasuk dalam struktur birokrasi pemerintahan. Mereka
juga tampil sebagai cendekiawan yang mahir menyampaikan persoalan-persoalan
keagamaan melalui karangan-karangan ilmiah dan sastra dalam bahasa lokal,
khususnya bahasa Melayu dan Jawa, di samping dalam bahasa Arab. Tidak
mengherankan apabila pada tahapan ini penulisan kitab keagamaan berkembang
subur, khususnya di Aceh yang merupakan imperium Islam terbesar di Nusantara
pada abad ke-16 dan 17 M. Pada peralihan abad ke-16 dan 17 M, ketika tahapan
kedua perkembangan Islam mencapai puncaknya, muncul sastrawan besar seperti
Hamzah Fansuri dan murid-muridnya, antara lain Syamsudin al-Sumatrani, Abdul
Jamal, Hasan Fansuri dan lain-lain. Karangan-karangan mereka pada umumnya sarat
dengan uraian berkenaan doktrin Wahdat al-Wujud (‘kesatuan transenden
wujud’)yang bercorak filosofis dan intelektual.
Salah satu kecenderungan kuat pada tahapan
ini ialah cara menafsirkan hukum agama dan sistem kekuasaan sesuai dengan
konteks perkembangan masyarakat yang tatanan sosialnya bercorak agraris feodal
dan kesukuan, dan menyukai hal-hal yang bersifat magis dan supernatural.
Teks-teks Jawa yang menggambarkan proses pengislaman penduduk oleh para wali
pada abad ke-16 M, dengan jelas memperlihatkan hal ini. Tetapi peringkat ini
kemudian dilanjutkan dengan penafsiran metafisika dan psikologi sufi yang
bercorak filosofis, dan penafsiran teologi dari para mutakallimun yang bercorak
rasional. Setelah itu penulisan historiografi dan penafsiran estetika sufi
dilakukan melalui penciptaan karya sastra dan seni Islam yang lain. Maka
dasar-dasar tradisi intelektual Islam pun telah diletakkan secara kokoh. Begitu
pula dasar-dasar adab dan estetikanya.
Tahapan kedua dan ketiga itu berlangsung
tepat ketika imperium besar di Nusantara, kesultanan Aceh Darussalam, mulai
menyongsong puncak kejayaannya sebagai pusat peradaban dan kegiatan
perdagangan.. Negeri ini telah memiliki perguruan tinggi Islam terkemuka, Jami`
al-Bayt al-Rahman, sejak awal abad ke-16 M. Lembaga pendidikan ini berkembang
pesat menjelang akhir abad yang sama. Di sinilah kader-kader ulama dan
cendikiawan Muslim terkemuka memperoleh pendidikan. Mereka tidak hanya datang
dari Sumatra, tetapi juga dari berbagai wilayah lain di Asia Tenggara. Dari
sini mereka mulai membentuk jaringan intelektual atau ulama di seluruh
Nusantara. Islam dan bahasa Melayu lantas muncul sebagai kekuatan integratif
bagi etnik-etnik yang berbeda-beda di kepulauan Nusantara.
Tasawuf
dan Kebudayaan
Dalam konteks Indonesia dan transformasi
Islam ke dalam kebudayaan Melayu, abad ke-17 M merupakan periode penting. Islam
tampil sebagai faktor utama perekat etnik Nusantara yang bhineka. Peradaban ini
membuktikan dirinya sebagai peradaban yang didasarkan atas rasionalitas dan
inetlektualitas, dibanding atas mitologi dan ritual. Kerasionalan ini
didasarkan pula atas sendi-sendi keimanan yang tidak kalah kuatnya, sehingga
tidak mengherankan kelak apabila Gellner (1992) mengatakan, “Dari peradaban
tulis dunia (baca Kristen, Hindu, Konfusianisme dan Islam), kelihatan hanya
Islam yang dapat mempertahankan keimanan pra-industrialnya dalam abad 21 yang
akan datang.”
Ini disebabkan karena Islam mempunyai dua
tradisi yang saling melengkapi, terus dipertahankan dan dikembangkan, serta
selalu diperbarui, yang mengikat baik tampilan universal dan kosmoplitannya di
satu pihak, dan tampilan lokal dan nasionalnya di lain pihak. Dua tradisi ini
menyediakan sumber-sumber ide dan ilham yang berlimpah bagi kreativitas
penganutnya.
Yang pertama, tradisi besar yang terkandung
dalam tasawuf filosofis dan syariat. Jika syariat memuat ketentuan-ketentuan
hukum positif dalam menjalankan peribadatan dan keharusan membangun tatanan
masyarakat Muslim yang berpegang pada al-Qur’an dan sunnah Rasul, maka tasawuf
mempunyai pandangan dunia yang inklusif yang mendorong bangkitnya budaya dagang
dan aktivisme dalam kegiatan sosial dan intelektual. Yang kedua, tradisi kecil
seperti tercermin dalam mistisisme popular yang dikembangkan tariqat-tariqat
sufi dan aliran-aliran fiqih tertentu yang di Indonesia telah benar-benar
berfungsi, terutama dalam membentuk budaya-budaya lokal yang unik. Dua tradisi
ini berkembang sebagai kelanjutan dari dialog lama antara kecenderungan
ortodoksi dan heterdoksi, rasionalitas dan mitos, keperluan akan tertib sosial
dan anarki, hukum Tuhan dan adat istiadat bikinan manusia, kota dan desa
(Gellner 1981).
Begitulah tahap II dan III perkembangan Islam
di kepulauan Melayu sangat ditentukan oleh pesatnya perkembangan ilmu tasawuf
dan syariat. Pada tahap kedua, derasnya proses islamisasi kepulauan Melayu itu
ditandai dengan dua gejala dominan dalam kehidupan intelektual: Pertama,
munculnya banyak sekali karangan, baik prosa maupun puisi, berisi
renungan-renungan tasawuf yang mendalam tentang masalah ketuhanan dan hubungan
manusia dengan Tuhan, serta arti penciptaan dan kedudukan manusia di alam
dunia; Kedua, munculnya teori kekuasan yang bertolak dari pendekatan sufistik
dan diungkapkan melalui karya sastra (lihat juga Taufik Abdullah 2002). Gejala
pertama tampak pada karya Hamzah Fansuri, berupa sejumlah -risalah tasawuf yang
begtu filosofis dan mendalam, seperti Syarab al-`Asyiqin (Minuman Orang Berahi)
dan Asrar al-`Arifin (Rahasia Ahli Makrifat), serta syair-syairnya yang indah
dan memikat. Dalam karangan-karangan sufi dari Barus itu derasnya proses
islamisasi kebudayaan Melayu tampak bukan saja pada persoalan yang dikemukakan,
tetapi juga pada konsep-konsep yang mendasari pemikirannya.
Gejala kedua tampak pada munculnya kitab
ketatanegaraan bercorak sastra, Taj al-Salatin (Mahkota Raja-raja), karangan
Bukhari al-Jauha.. Buku ini selesai dituliis pada 1603 M menguraikan adab
pemerintahan yang ideal menurut Islam. Konsep-konsep dan pemerintahan raja-raja
Melayu banyak diturunkan dari kitab ini. Negara tidak lagi dipandang sebagai
sekadar refleksi dari kedirian seorang raja, tetapi juga sebagai pranata yang
merupakan terwjudnya kesatuan yang harmonis antara raja dan rakyat, makhluq dan
Khaliq, yaitu dengan melaksanakan keadilan dalam pemerintahan. Raja yang adil dan
dipandang sebagai ‘Bayang-bayang Tuhan di muka bumi’ (Zill Allah fi al-`ardh),
sedang raja yang zalim dan menurutkan egonya disebut ‘Bayang-bayang Iblis di
muka bumi’.
Berdasarkan anggapan ini penulis Taj
al-Salatin mengemukakan bahwa selama raja yang tidak adil tidak menimbulkan
kekacauan dan anarki, maka tidaklah terlalu diacuhkan apalagi dihormati. Ini
karena mereka ini telah memalingkan wajahnya dari Allah, menyimpang dari hukum
Tuhan dan menolak syariat. Konsep tentang tatanan pemerintahan yang ideal
menurut Islam juga dipertegas. Yaitu dengan mengukuhkan lembaga yudikatif
(qadi) yang berperan merumuskan dan melaksanakan hukum Islam, serta mendampingi
raja dalam menjalankan pemerintahan. Pemberlakuan lembaga yudikatif ini juga
berfungsi untuk membatasi kekuasaan raja agar tidak sewenang-wenang. Didukung
oleh fungsi ulama sebagai pemberi legitimasi bagi kekuasaannya, raja lantas
tidak dapat berbuat sewenang-wenang (Abdul Hadi W. M. 2003).
Yang tidak kalah penting ialah bahwa sejak
munculnya karangan-karangan Hamzah Fansuri dan Bukhari al-Jauhari, kegiatan
penulisan kitab dan sastra bertambah subur. Kitab-kitab yang ditulis di Aceh
pada abad ke-17 M ini berperan besar dalam transformasi pemikiran keagamaan dan
kebudayaan di Indonesia. Bukti luasnya penyebaran dan pengaruh kitab-kitab Aceh
ialah banyaknya salinan naskah dari kitab-kitab tersebut yang dibuat oleh
penyalin di daerah yang berbeda-beda di berbagai pusat penyebaran Islam di
kepulauan Nusantara. Demikianlah proses islamisasi tahapan kedua dan ketiga itu
berlangsung di kepulauan Melayu.
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh
pemikiran ulama-ulama dan cendekiawan sufi terhadap kebudayaan, sangat banyak
contoh bisa diberikan. Tetapi cukuplah beberaja dikemukakan di sini. Dalam
wilayah politik dan ketatanegaraan, konsep seperti ‘raja adil raja disembah’,
‘raja sebagai ulil albab’ dan lain-lain dapat dicari sumbernya dalam kitab Taj
al-Salatin, Bustan al-Salatin, dan lain-lain. Begitu pula konsep seperti Dar
al-Salam yang digunakan oleh raja-raja Nusantara untuk menyebut nama negerinya
seperti Samudra Dar al-Salam, Aceh Dar al-Salam, Brunei Dar al-Salam, dan
lain-lain, bersumber dari kitab-kitab sejenis. Begitu juga sebutan raja-raja
Melayu seperti Syah dan Sultan, dan gelarnya seperti Khalifah Allah di muka
bumi. Gelar serupa digunakan pula oleh raja-raja Jawa seperti Sultan Agung,
Amangkurat IV, Hamengkubawana, bahkan juga Pangeran Diponegoro, dengan berbagai
tambahan.
Salah satu konsep penting dalam tasawuf yang
demikian mempengaruhi pandangan hidup dan gambaran dunia (Weltanschaung) orang
Melayu dan masyarakat Muslim Nusantara lain ialah konsep ‘faqir’ atau ‘dagang’.
Konsep ini djelaskan secara rinci mula-mula oleh Hamzah Fansuri dan penulis
kitab Taj a-Salatin. Dijelaskan bahwa walaupun dunia ini merupakan tempat
persinggahan sementara bagi manusia, namun tidak berarti bahwa kehidupan atau
dunia ini tidak penting. Dunia menjadi penting karena di sini seseorang harus
mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya agar bisa pulang ke kampung halamannya dengan
selamat. Bekal yang dimaksud ialah amal saleh dan amal ibadah (Abdul Hadi W. M.
2003).
Konsep ini dikembangkan berdasarkan sebuah
hadis, ”Kun fi al-dunya ka’annaka gharibun aw ’abiru sablin wa `udhdha nafsahu
min ashabi al-qubur” (”Jadilah orang asing di dunia ini, singgahlah sementara
dalam perjalananmu, dan ingatlah akan azhab kubur.”). Ini berlaku bagi seluruh
pemeluk agama Islam. Konsep inilah yang melahirkan etos atau budaya dagang,
semangat jihad, pengurbanan diri dan semangat mementingkan kepentingan sosial
di atas kepentingan diri. Hamzah Fansuri menerjemahkan kata-kata gharib (asing)
menjadi ‘dagang’, yang dalam bahasa Melayu berarti orang yang merantau ke
negeri asing untuk berniaga. Penerjemahan itu dilakukan sejalan dengan konteks
sejarah masuk dan berkembangnya agama Islam di kepulauan Nusantara yang dimulai
dengan kedatangan para pedagang Arab dan Persia. Pada waktu bersamaan ia
menghubungkannya dengan konsep faqr yang telah dikenal dalam tasawuf. Dalam
syairnya Hamzah Fansuri menulis:
Hadis ini daripada Nabi al-Habib
Qala kun fi al-dunya ka’annaka gharib
Barang siapa da’im kepada dunia qarib
Manakan dapat menjadi habib
Hidup dalam dunia upama dagang
Datang musim kita ’kan pulang
La tasta’khiruna sa’atan lagi kan datang
Mencari ma`rifat Allah jangan alang-alang
Arti dari petikan ayat ”La tasta’khiruna
sa`atan” (Q 34:30) ialah tidak dapat ditunda waktunya. Di lihat dari sudut
agama kata ‘anak dagang’ diberi arti positif oleh penyair. Ia adalah seseorang
yang menyadari bahwa kehidupan yang benar hanya bersama Tuhan, dalam keimanan
terhadap-Nya sebagai hakikat wujud tertinggi. Sama dengan gagasan dagang adalah
gagasan faqr yang oleh ahli-ahli tasawuf diberi arti sebagai ”Pribadi yang
tidak lagi terpaut pada dunia. Keterpautannya semata-mata pada Tuhan.
Jika ditelusuri secara mendalam, arti yang
dikandung dalam konsep faqr dan dagang, dapat dikatakan mendasari semangat
sosialisme religius yang terpancar dari ajaran kemasyarakatan Islam yang
intipatinya adalah keadilan sosial dan pemarataan kesempatan berusaha. Semangat
ini mendasari kehidupan masyarakat Muslim sejak awal, seperti tercermin dalam
kehidupan pesantren, tariqat dan gilda-gilda sufi (ta`ifa) (Tirmingham 1972).
Kegiatan perdagangan yang dilakukan pedagang Muslim dan gilda-gilda itu tidak
hanya membuat makmur para pedagang, tetapi juga perajin, tukang dan muballigh.
Di lingkungan pedesaan para petani dan kiyahi juga ikut menikmati kemakmuran,
sebagaimana anggota tariqat yang lain. Begitulah gagasan kefakiran melahirkan
semacam kolektivisme
Syariah
dan Aktivisme Islam
Syariah dan tasawuf dipandang oleh ahli-ahli
sejarah kebudayaan sebagai sendi utama terbentuknya kebudayaan Islam. Ini benar
terutama semenjak abad ke-13 M, khususnya di bagian timur Dunia Islam, sebelum
dan terlebih-lebih sesudah jatuhnya kekhalifatan Baghdad ke tangan bangsa
Mongol pada 1258 M. Ketakhadiran falsafah rasional ala al-Farabi, Ibn Sina dan
Ibn Rusyd, tidak menyebabkan peradaban Islam kehilangan dimensi rasional dan
intelektual oleh karena falsafah sebenarnya telah merembes masuk ke dalam
tasawuf. Khususnya melalui pemikiran Imam al-Ghazali, Suhrawardi al-Maqtul dan
Ibn `Arabi yang sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan tradisi intelektual
Islam.
Tetapi sebagaimana falsafah, tasawuf juga
mengandung benih-benih pemikiran yang dapat bertabrakan dengan syariah.
Kemungkinan munculnya berbagai paham heterodoks dalam tubuh tasawuf yang tidak
diinginkan oleh para pendukung syariah, sama besarnya dengan kemungkinan
munculnya pemikiran liberal yang dianggap nyleneh dan menyimpang seperti
terjadi pada perkembangan Mu`tazila. Jika ketegangan itu muncul, maka
kekuatiran akan terjadinya disintegrasi dalam masyarakat Muslim sangat
beralasan. Ini rupa-rupanya disadari oleh ulama-ulama di Nusantara sejak akhir
abad ke-17 M, sebagaimana tercermin dalam tulisan-tulisan Nuruddin al-Raniri.
Nuruddin al-Raniri sebenarnya seorang ahli
tasawuf dan malahan mengaku sebagai penganut paham wujudiyah Ibn `Arabi. Tetapi
karena pengalaman buruk yang disaksikan di India, di mana penafsiran yang
berlebihan terhadap ajaran Ibn `Arabi melahirkan paham sinkretik dan heterodoks
pada abad ke-16 M, maka sejak kehadirannya di Aceh pada tahun 1637 M Nuruddin
al-Raniri gencar sekali mengecam pengikut dan pemimpin wujudiyah. Kecaman itu
tertuju pada ahli-ahli tasawuf yang cenderung berpikiran pantheistik dan
memandang remeh syariah. Sebagai seorang sufi, Nuruddin sebenarnya tidak
memandang tasawuf itu tidak penting. Namun dengan lebih menekankan pada
syariah, pemikirannya lantas kehilangan banyak dimensi filosofis yang dimiliki
tasawuf pada umumnya ketika itu.
Dengan munculnya Nuruddin al-Raniri, proses
ke arah ortodoksi pun mulai. Penekanan pada syariah dan fiqih, yang merupakan
rincian syariah, lantas menjadi gejala dominan pada tahapan keempat perkembangan
Islam. Tradisi penafsiran ajaran agama yang bercorak hermeneutik lantas diganti
dengan penafsiran rasional formal. Tasawuf lantas lebih dipahami sebagai media
untuk meningkatkan intensitas ibadah dan penyempurnaan akhlaq. Konsep zuhud
(semacam asketisme) diterjemahkan menjadi kesalehan sosial dan pengendalian
diri dari kecenderungan materialisme dan hedonisme yang merusak kepribadian
seorang Muslim, sebagaimana diajarkan oleh al-Ghazali. Penekanan terhadap
syariah ini juga melahirkan pandangan hidup yang lebih berorientasi kepada
aktivitas sosial dan keduniaan (Azyumardi Azra 1999).
Tetapi tokoh yang paling berkompeten dalam
menjelaskan kecenderungan ini ialah Abdul Rauf al-Singkili. Ulama yang masih
mempunyai pertalian darah dengan Hamzah Fansuri ini merupakan sufi pertama di
Nusantara yang menyusun kitab kodifikasi hukum Islam yang komprehensif dalam
bahasa Melayu. Karyanya yang terkenal ialah Mir`at al-Tullab fi Tashil Ma`rifat
Ahkam al-Syar`iyyah atau Cermin bagi mereka yang meuntut ilmu fiqih pada
memudahkan mengenal segala hukum Syara` Allah. Kitab ini menjadi semacam kitab
induk bagi mereka yang ingin mempelajari syariah dalam bahasa Melayu. Mir`at
al-Tullab menjadi rujukan utama penyusunan undang-undang Islam di Nusantara dan
menjadi bacaan yang popular di kalangan ulama dan raja-raja Melayu hingga abad
ke-19 M.
Karena berbagai alasan yang dapat dimengerti,
yaitu demi tegaknya syiar Islam dan kokohnya perkembangan masyarakat Islam,
penekanan terhadap syariah ini mendapat sambutan luas dari ulama dan raja-raja
pesisir, serta sejumlah tariqat sufi dan pesantren-pesantren di berbagai
pelosok Nusantara. Penguasa pesisir menyambut baik karena memerlukan kepastian
hukum dalam memelihara keamanan dan ketertiban negara, serta dalam mengatur
kegiatan perdagangan di dalam dan dengan luar negeri. Peranan ulama dan
martabatnya lantas lebih naik lagi di mata masyarakat. Mereka juga semakin
terlibat jauh dalam birokrasi pemerintahan dan ikut menentukan kebijakan
politik. Tidaklah mengejutkan apabila pusat-pusat kekuasaan Islam yang telah
terrsebar luas di Nusantara pada abad ke-18 M berlomba-lomba melahirkan
ulama-ulama terkemuka di bidang fiqih dan syariah. Contoh terbaik ialah Abdul
Samad al-Falimbangi, Arsyad al-Banjari, Daud al-Fatani, Nawawi al-Bantani, dan
lain-lain. Mereka adalah ahli tasawuf, tetapi cenderung menekankan signifikansi
syariah dan fiqih.
Tentu saja pengaruh awal dari kitab Abdul
Rauf itu dirasakan di Aceh sendiri. Kesultanan Aceh dengan tegas menerapkan
Syariat Islam. Dalam undang-undang kerajaan itu dikatakan misalnya bahwa
“Diwajibkan bagi rakyat Aceh untuk belajar dan mengajar agama Islam dan syariat
Nabi Muhammad s.a.w. atas mazhab ahlul Sunnah wal Jama`ah”. Orientasi pada
aktivitas keduniaan juga ditekankan. Misalnya seperti disebutkan dalam
undang-undang Aceh: “Diwajibkan bagi rakyat Aceh belajar dan mengajar jual beli
di dalam dan luar negeri; belajar dan mengajar mengukir; memelihara ternak yang
halal dan bermanfaat; mengerjakan kenduri Maulid.” (Ibrahim Alfian 2005).
Pola penerapan syariat dalam pemerintahan
lokal dan pengintegrasian tasawuf ke dalam tradisi masyarakat Muslim
sebagaimana berlaku di Aceh, juga diikuti oleh kerajaan-kerajaan pesisir lain
di kepulauan Nusantara seperti di Kalimantan, Sulawesi, Banten, Madura, Bima, dan
lain-lain. Penerapan ini lebih ditekankan pada soal-soal yang berhubungan
dengan kewajiban mempelajari agama dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di
bidang ekonomi.
Kepustakaan
Abdul Hadi W. M. (2000). Tasawuf Yang
Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah Fansur. Jakarta:
Paramadina.
--------------------- (2003). “Taj
al-Salatin: Adab Pemerintahan Dari Nanggroe Aceh Darussalam”. Dalam Adab dan Adat:
Refleksi Sastra Nusantara. Penyelenggara
Abdul Hadi W.M, Edwar Djamaris dan Amran
Tasai. Jakarta: Pusat Bahasa.
--------------------- (2005). “Aceh dan
Kesusastraan Melayu”. Dalam Aceh Kembali Ke Masa Depan. Ed. Sardono W. Kusuma.
Jakarta: Institut Kesenian Jakarta.
Al-Attas, S. M. Naquib (1970). The Mysticism
of Hamzah Fansuri. Kuala Lumpur: Universiti Malaya Press.
--------------------------- (1972).
Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of Malaysia Indonesian
Archipelago. Kuala Lumpur: Universiti Malaya Press.
Azyumardi Azra (1999). Renaisans Islam Asia
Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Jakarta: Rosda.
Braginsky, V. I. (1998). Yang Indah, Yang
Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS.
--------------------- (2004). Satukan Hangat
dan Dingin: Kehidupan Hamzah Fansuri, Pemikir dan Penyair Sufi Melayu. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Drewes, G. W. J. (1978). An Early Javanese
Code of Muslim Ethics. The Hague: Martinus Nijhoff.
Gellner, Ernest (1992). Posmodernism, Reason
and Religion. London and New York: Routledge.
Gibb, H. R. (1957). Ibn Batuta: Travels in
Asia and Africa 1325-1354. London: Routledge & Kegan Paul.
Hasan Muarif Ambary (1998). Menemukan
Peradaban: Arkeologi dan Islam di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional.
Ibrahim Alfian (2005). “Refleksi
Gempa-Tsunami: Kegemilangan Dalam Sejarah Aceh”. Dalam Aceh Kembali ke Masa Depan. Ed. Sardono
W. Kusuma. Jakarta: Institut Kesenian Jakarta.
Iskandar, Teuku (191987). “Shamsuddin
as-Sumaterani Tokoh Wujudiyah”. Dalam Tokoh-tokoh Sastera Melayu. Ed. Mohamad Daud
Mohamad. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Ismail Hamid (1983). Kesusastraan Melayu Lama
dari Warisan Peradaban Islam. Petaling Jaya, Selangor: Fajar Bakti Sdn.
Bhd.
Ismail R. Faruqi (1992). Atlas Kebudayaan
Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Jansen, G. H. (1983). Islam Militan. Terj.
Armahedi Ma Mahzar. Bandung: Pustaka.
John, A. H. (1961). “Sufism as a Category in
Indonesian Literature and History”. JSAH 2, July:10-23.
Kern, H. (1917). Versperiche geschifter VI.
The Hague: Martinus Nijhoff.
Muhammad Hatta (1979). Bung Hatta Berpidato,
Bung Hatta Menulis. Jakarta: Mutiara.
Nicholson, R. A. (1982). The Kashf al-Mahjub:
The Oldest Persian Treatise on Sufism by Ali Uthman al-Hujwiri. New Delhi: Taj Company.
Noordyn (1972). Islamisasi Makassar. Jakarta:
Bhratara.
Nurcholis Madjid (1987). Islam, Kemodernan
dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
Oman Fathurrahman (2005). “Naskah dan
Rekonstruksi Sejarah Islam Lokal: Contoh Kasus dari Minangkabau”. Dalam Mimbar Vol.
22. No. 3:260-8.
Ricklefs, M. C. (1993). A History of Modern
Indonesia since c. 1300. London: Macmillan.
Ruslan Abdulgani (1995). Problem
Nasionalisme, Regionalisme dan Keamanan di Asia Tenggara. Yogyakarta: Duta Wacana University
Press.
Schrieke, B. (1955). Indonesian Sosilogical
Studies. The Hague & Bandung: Van Hoeve.
Sidiq Fadil (1990). “Pengislaman Dunia
Melayu: Transformasi Kemanusiaan dan Revolusi Kebudayaan”. Dalam Dewan Budaya 12
Bil 11, November.
Taufik Abdullah (1988). “Ke Arah Perencanaan
Strategi Kultural Pembinaan Umat”. Dalam Pak Natsir 80 Tahun. Ed. H. Endang
Saifuddin Anshari dan M. Amien Rais. Jakarta: Media Dakwah.
------------------- (2002). “Pemikiran Islam
di Nusantara Dalam Perspektif Sejarah”. Makalah diskusi peluncuran buku Ensiklopedi
Tematos Dunia Islam. Jakarta 5 September.
Tirmingham, J. S. (1972). The Sufi Orders in
Islam. Oxford: Oxford University Press.
Uka Tjandrasasmita (1975). Sejarah Nasional
Indonesia III: Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Winstedt, R. O. (1961). A History of
Classical Malay Literature. Kuala Lumpu: Oxford University Press.
Wolters, O. W. (970). The Fall of Sriwijaya
in Malay History. Ithaca, New York: Cornell University.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan