Isnin, 24 September 2012

Dinamika Doktrin Wihdat al-Wujud Dalam Sejarah Indonesia.



Dinamika Doktrin Wihdat al-Wujud Dalam Sejarah Indonesia.

Oleh
Dr. Mukti Ali.

Prolog

Wihdat al-wujud (the unity of being) atau wujudiyah sebagai konsep dan aliran dalam tasawuf, mengalami perkembangan dan tantangan sekaligus perubahan. Seringkali wihdat al-wujud disalah fahami dan difahami secara keliru, yang menyebabkan label sesat, murtad dan kafir bahkan mulhid (ateis) menempel padanya. Hal ini tidak hanya terjadi di Timur Tengah (Arab) an sich, melainkan di Nusantara pun sederet sufi besar yang mengusung pemikiran tersebut mengalami masa-masa tragis dengan menerima respons negatif dan ekstrim dari ulama-ulama setempat. Meski sebagian ulama lebih bersikap moderat, menengah-nengahi di atara sufi yang mengusung wujudiyah dan ulama yang menentangnya dengan keras. Dilaketika ini memunculkan inovasi-inovasi baru dalam rancang bangun filsafat wujudiyah sebagai konsep sufistik.

Menarik untuk dikaji persoalan kontinuitas, dinamisasi dan perubahan konsep wahdat al-wujud atau wujudiyah di Indonesia. Dengan menggunakan data teks-teks yang ditulis langsung atau yang diedit (ditahqiq) para sarjana kontemporer sebagai data primer, dan data sekunder diambil dari teks-teks yang mengkaji topik dan tokoh tasawuf nusantara. Dikaji dengan pendekatan berbagai perspektif, seperti pendekatan politik, sosial ekonomi, teologi dan pendekatan sejarah. Serta kajian intertekstual, dengan melalui empat tahap yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi dan penyajian.

Sejatinya Wihdat al-wujud masuk ke Indonesia pada abad ke-12, bersamaan dengan masuknya Islam secara masif. Para ulama yang mengecam lantaran para pengikutnya tidak memahami secara memadai, yang lebih menekankan imanensi Tuhan tehadap alam, padahal dalam pemahaman yang benar mestinya metafisika wihdat al-wujud sebagai konsep tidak pernah menekankan salah satu antara omanensi dan transendensi Tuhan.

Ada dua langkah cerdas dari kalangan ulama penganut faham wihdat al-wujud demi menyelesaikan benang kusut perdebatan dan resistensi yang berkepanjangan tersebut, yaitu pertama, memunculkan ajaran martabat tujuh yang menjelaskan proses tajalli (manifestasi) al-Haq (Yang Maha Benar) secara sederhana dan ringkas. Dan kedua, menyadari akan pentingnya harmonisasi antara syari’at dan tasawuf.

Namun, kecenderungan ortodoksi tasawuf dan meninggalkan faham wahdat al-wujud semakin menguat di Indonesia semenjak abad ke-18. Ada pembagian doktrin dan kitab tasawuf yang boleh diajarkan dan dikaji dan  ada yang dilarang. Dan doktrin dan kitab tasawuf yang dilarang di ataranya adalah wihdat al-wujud. Sampai abad ke-20, hampir tidak ditemukan pengajaran tentang ajaran wihdat al-wujud, seperti kitab-kitab yang ditulis Ibnu Arabi di pesantren-pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia, kecuali bagi orang-orang tertentu yang dianggap sudah mumpuni dan mampu mem-filter atau memilih-memilah antara tasawuf yang benar dan salah.

Tulisan ini hendak memotret perkembangan, dinamika, dan perubahan konsepsional wahdat al-wujud dari masa ke masa, dari generasi ke generasi, dari para tokohnya di Timur Tengah sampai terjadi perubahan dan akulturasi di Indonesia. bahwa wujudiyah atau wahdat al-wujud (the unity of being) sebagai bagian dari tasawuf falsafi yang cukup kontroversial di kalangan umat Islam di Timur Tengah ataupun di Indonesia. Tidak sedikit para tokohnya yang menjadi martir, sebagaimana di Timur Tengah yaitu al-Hallaj (244/857-309/922), ‘Ain Qudhat al-Hamdani (492/1099-525/1131) dan Suhrawardi (550/1155-587/1191) yang ketiga-tiganya dihukum mati, sebagai bukti dari resistensi dan reaksi negatif dari masyarakat pada saat itu. Sedangkan di Indonesia, wahdat al-wujud sering diidentikkan dengan Hamzah Fanshuri yang dihukum mati oleh rezim dan Syekh Siti Jenar, yang keduanya bernasib menjadi martir.

Namun, sebelum wahdat al-wujud dituduh sebagai faham yang “disalah artikan”, ia pernah mencapai puncak kegemilangannya, yaitu pada masa Pemerintahan Sultan Mansur Syah (1456-1477 M.) di nusantara (Malaka), yang menurut para ahli menyatakan bahwa faham Insan Kamil (Manusia Sempurna) al-Jili (w. 805/1403) dimaksudkan sebagai alat atau justifikator religius untuk mendewa-dewakan golongan raja, sebab dalam kitab al-Insan al-Kamil al-Jili terdapat kisah yang diceritakan bahwa Nabi Khidir masih hidup dan menjadi wazir Iskandar Zulkarnain. Kisah ini sebagai dukungan bagi raja Malaka yang secara kebetulan keturunan Iskandar Zulkarnain.

Tasawuf falsafi dan wahdat al-wujud pun masuk ke Aceh, pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Mansyur Syah (1581-1587), dengan tibanya Abu al-Khair Ibn Hajar dari Makkah, pengarang kitab Saif al-Qati’, penganut aliran Syi’ah, meyakini kebenaran filsafat wahdat al-wujud dan konsep a’yan at-tasbitah (entitas-entitas permanen). 

Pada saat yang bersamaan, resistensi pun tidak dapat dielakkan. Polemik antar ulama terus mewarnai perjalanannya. Perdebatan di ruang publik tak pelak lagi menjadi keniscayaan sejarah. Pembredelan dan pemberangusan kitab-kitab wahdat al-wujud terjadi.

Melihat fenomena wahdat al-wujud yang begitu kontroversi tersebut, muncul seorang sufi dari India abad ke-17, yaitu Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri (w. 1620) menggagas doktrin martabat tujuh yang berusaha menjelaskan wahdat al-wujud dengan cara-cara yang ringan, ringkas dan menjadi terhindar dari polemik. Karyanya yang menjelaskan martabat tujuh adalah kitab Tuhfat al-Mursalah ila Ruh al-Nabi, yang dikirim ke Aceh pada tahun sekitar 1590. Dan kitab tersebut lah yang dijadikan rujukan utama dalam memahami doktrin wujudiyah. Di nusantara Syeikh Syams al-Din al-Sumatrani (w. 1630) dikenal sebagai ulama yang pertama kali menganjurkan agar merujuk pada kitab tersebut, seperti pernyataannya dalam kitab Jauhar al-Haqaiq, Nur al-Haqaiq, Mir’at al-Imam (Mir’at al-Mu’minin) dan al-Harakat.

Sejatinya martabat tujuh merupakan pengembangan dari martabat lima yang digagas oleh al-Jili dan Hamzah Fansuri. Meski ada perbedaan dalam rincian dan istilah yang digunakan, seperti martabat lima al-Jili yaitu al-‘Amma, Ahadiyya, Huwwiya, Anniya, Wahidiya, dst.; martabat lima Hamzah Fansuri yaitu Ahadiya, Ta’ayyun al-Awwal (2 aspek), Ahad, Wahid, Ta’ayun al-Tsani, dst.; sedangkan martabat tujuh al-Burhanpuri yaitu Ahadiya, Wahda, Wahidiyya, ‘Alam al-Arwah, ‘Alam al-Mitsal, ‘Alam al-Ajsam, dan ‘Alam al-Insan.    

Martabat tujuh sebagai penjelasan dari doktrin wahdat al-wujud semakin terkenal setelah mendapatkan pendukung dan pengikut baik di Aceh pada masa ‘Abd al-Rauf al-Sinkili maupun di Jawa. Ada beberapa murid ‘Abd al-Rauf al-Sinkili di Jawa yang mengajarkan doktrin martabat tujuh, seperti ‘Abd al-Muhyi di Pamijahan, yang disebarkan oleh muridnya yang dikenal Bagus Nur Tjadin dari Cirebon, purtanya Bagus Anom (Mas Pekik Ibrahim) dan Haji ‘Abdullah melalui saluran tarekat Syattariyah.

Di Jawa Tengah, wujudiyah disebarkan oleh Embah Mutamakkin, yang tertera dalam Serat Centini, yang isinya bercerita tentang kisah polemik antara Ketib Anom Kudus dengan Haji Mutamakkin yang menganut wahdat al-wujud, dan Serat Dewa Ruci dan komentar yang ditulis oleh Yasadipa I (w. 1803) pada akhir abad ke-18. Dan doktrin martabat tujuh pun dipaparkan oleh Ranggawarsita dalam Wirid Hidayat Jati.

Konsep martabat tujuh pada abad ke-17 masuk ke wilayah kesultanan Buton, pada masa kekuasaan Sultan Laelangi Dayan Ihsan al-Din yang membuat undang-undang negara berdasarkan doktrin martabat tujuh. Dimungkinkan masuk melalui karya Syams al-Din al-Sumatrani seperti Nur al-Daqaiq.

Terdapat keunikan dari sebuah perjalanan sejarah konsep wahdat al-wujud di Indonesia, yang pada awalnya mendapatkan tantangan dan penolakan dari sebagian besar masyarakat Islam, setelah munculnya doktrin martabat tujuh sebagai interpretasi atau reinterpretasi wahdat al-wujud akhirnya diterima oleh masyarakat dan mengalami kegemilangan, lantaran dianggap selaras dengan doktrin tasawuf sunni.

Wihdat al-Wujud: Konsep dan Ajaran

Konsep dan ajaran wahdat al-wujud yang diusung oleh tiga tokoh, yaitu Ibnu ‘Arabi (569/1165-638/1240), ‘Abd al-Karim al-Jili (767/1365-805/1402) dan Ibn al-Fadlullah al-Burhanpuri. Satu persatu dijabarkan riwayat dan karya-karyanya, setelah itu dijelaskan poin-poin penting pemikirannya yang terkait dengan wahdat al-wujud. Penulis disertasi ini menjelaskan, pertama, Wahdat al-Wujud Ibn ‘Arabi (569/1165-638/1240), yang membahas beberapa poin besar gagasan Ibnu Arabi. Yaitu,

1). Tuhan dan alam semesta. Ibnu Arabi menegaskan bahwa realitas atau wujud tunggal yang hakiki adalah Allah, sedangkan alam semesta yeng majemul dan serba banyak ini hanyalah sebuah wadah manifestasi (tajalli) dari segenap asma’ (nama-nama) dan sifatNya. Realitas tunggal itu mempunyai dua aspek yaitu Tuhan bila dipandang sebagai esensi dan makhluk bila ditinjau sebagai fenomena yang memanifestasikan esensinya itu.

2). Tanzih (Transendensi) dan tasybih (Imanensi). Menurut Ibnu Arabi, sebagian ayat-ayat al-Quran mentanzihkan dan sebagian yang lain mentasybihkan-Nya. Dengan demikian, Tuhan ditanzihkan dengan tanpa menafikan tasybih, dan mentasybihkan dengan tanpa menafikan tanzih. Tuhan adalah dzat yang tanzih (transenden), berbeda dengan makhluknya, sekaligus tasybih (imanen) serupa dengan makhluknya sebab makhluk adalah replika-Nya. 

3). Tajalli al-Haq (Manifestasi Yang Maha Benar). Tajalli Tuhan menurut Ibnu Arabi mengambil dua bentuk, yaitu dzati dan tajalli syuhudi. Tajalli dalam bentuk yang pertama (zati) hanya terjadi dalam esensi Tuhan, oleh sebab itu wujudnya tidak berbeda dengan esensi Tuhan. Sedangkan tajalli syuhudi mengambil citra aktual dalam berbagai fenomena alam semesta.

Kedua, Wahdat al-Wujud al-Jili (767/1365-805/1402). Setelah penulis menjelaskan riwayat hidup dan karya-karya al-Jili, kemudian dijelaskan poin-poin penting pemikiran wahdat al-wujud al-Jili, yaitu;

 1). Tuhan dan alam. Penciptaan makhluk atau alam semesta dari proses tajalli (manifestasi) Tuhan. Menurut al-Jili, tajalli Tuhan yang berlangsung secara terus menerus ini terjadi dalam lima tingkatan. Yaitu martabat uluhiyah, martabat ahadiyah, martabat wahidiyah, martabat rahmaniyah dan martabat rububiyah.

2). Konsep Insan al-Kamil (Manusia Sempurna). Insan kamil (manusia sempurna) adalah wadah tajalli (manifestasi) Tuhan yang paling sempurna. Sebab hanya manusia sempurna yang mampu menampakkan nama-nama Tuhan secara utuh dan sempurna.

Insan kamil memiliki tiga tingkat. Pertama, manusia sempurna yang hanya dapat merealisasikan nama Tuhan pada dirinya. Kedua, insan kamil (manusia sempurna) dikaitkan dengan realitas kasih sayang Tuhan. Dan ia telah memiliki sebagian pengetahuan tentang hal-hal ghaib yang telah dibukakan Tuhan kepadanya. Ketiga, insan kamil memiliki pengetahuan rahasia penciptaan takdir, ia telah mampu menampilkan manifestasi Ilahi secara utuh.

Dan ketiga, Wahdat al-Wujud al-Burhanpuri. Setelah penulis menjelaskan riwayat hidup dan karya-karyanya. Ia menjelaskan beberapa persoalan yang sangat penting, yaitu;

1). Tuhan dan Alam Semesta. Sebagaimana pengikut doktrin wahdat al-wujud lainnya, al-Burhanpuri pun berpendapat bahwa satu-satunya yang memiliki wujud hakiki dan realitas tunggal hanya Allah. Sedangkan yang lainnya adalah manifestasi dari dzatNya.

2). Martabat Tujuh (al-Maratib al-Sab’ah) al-Burhanpuri. Menurut al-Burhanpuri bahwa Tuhan menampakkan dirinya (tajalli) melalui tujuh tahap wujud dan penciptaan manusia merupakan tahap terakhir serta tahap kreasi yang paling paripurna dari seluruh rangkaian tajalli-Nya atau al-maratib al-sab’ah (determinasi tujuh).

Determinasi pertama (maratib), la ta’ayun atau ahadiyah (the unity) atau disebut dengan indeterminasi. Wujud dalam martabah ini tidak mempunyai sifat, tidak disifati dan terbebas dari segala ikatan. Dikatakan sebagai zat Mutlak atau Ghaybu al-Ghuyub (Misteri yang Ghaib) atau Ghaib al-Huwiyyah (identitas tak terdeteksi).

Kedua, determinasi pertama (maratib al-ta’ayyun al-awal). Tuhan berkehendak menciptakan sesuatu oleh karena Dia mengetahui zat dan sifatNya serta seluruh maujudat, hanya saja secara gelobal, belum terperinci.

Ketiga, determinasi kedua (maratib al-ta’ayyun al-tsani). Tuhan mengetahui zat dan sifatNya serta seluruh maujudat secara terperinci.

Keempat, ‘alam al-arwah yaitu pengumpamaan (ibarat) dari segala sesuatu yang ada di alam ini yang bersifat murni dan sederhana yang tampak pada zat-zat dan semisalnya. 

Kelima, ‘alam al-mitsan, sebuah ungkapan dari sesuatu yang halus yang tidak menerima susunan dan tidak dapat diceraikan bagian-bagiannya.

Keenam, ‘alam al-ajsama merupakan pengungkapan tentang segala sesuatu yang ada dan tersusun dengan susunan yang padat dan kasar serta dapat dibagi dan dipisahkan.

Ketujuh, martabah al-jam’iyah atau martabat al-Insan (martabat manusia) adalah martabat bagi semua martabat yang telah disebutkan baik yang bersifat jasmani, yang bersifat nurani, begitu pula wahdat dan wahidiyyah, tajalli yang terakhir.

Wujudiah atau Wihdat al-Wujud di Indonesia

Tasawuf sebagai kanal penyebaran Islam pertama kali di bumi Indonesia. Berbagaimacan teori masuknya Islam ke Indonesia dijabarkan secara rinci, ada yang mengatakan Islam datang dari Gujarat, India, Yaman, Arab, dan yang lainnya. Dan proses penyebarannya tidak bisa lepas dari peran penting para pedagang yang lelaku sufi atau para dai yang berjiwa sufi, sehingga masuknya Islam ke Indonesia tidak melalui peperangan, tidak ada tumpahan darah yang mengalir, melainkan dengan cinta kasih dan damai.

Setelah memaparkan sejarah singkat masuknya Islam di Indonesia. Penulis disertasi ini menjelaskan sejarah masuk dan berkembangnya doktrin wujudiyah atau wahdat al-wujud di Indonesia. Penulis menjelaskan perkembangan wujudiyah berbagai wilayah yang ada di Indonesia. Pertama, penulis menjelaskan transmisi, penyebaran dan perkembangan wujudiyah atau doktrin wahdat al-wujud di tanah Jawa, yang dikenalkan dan dipresentasikan oleh Syekh Siti Jenar, Ahmad Mutamakin yang diceritakan dalam Serat Cabolek, Abdul Muhyi di Pamijahan yang mengajarkan Martabat Tujuh, dan Ranggawarsita yang mengenalkan wujudiyah lewat sastra, sebab ia merupakan apa yang dikenal sebagai “Pujangga Penutup”.

Trnasmisi dan penyebaran wujudiyah di wilayah Aceh dikenalkan dan diajarkan oleh Hamzah Fansuri yang mendapatkan pengikut yang cukup banyak dan bahkan mendapatkan dukungan penguasa. Meski setelah itu, diberangus oleh seorang ulama, yang mendapatkan mandat jabatan qadli al-qudhat (Hakim Tinggi), yaitu Nur al-Din al-Raniri.

Transmisi dan Penyebaran Doktrin Wahdat al-Wujud di Sumatra dikenalkan oleh Syams al-Din al-Sumatrani dengan mengajarkan Martabat Tujuh; ‘Abd al-Rauf al-Sinkili yang berusaha membaruan doktrin Wujudiyah dengan mengkompromikan antara tasawuf al-Ghazali dan Ibnu Arabi; Abd as-Samad al-Palimbani mentransformasikan doktrin wujudiyah di Palembang.

Transmisi dan Penyebaran Doktrin Wahdat al-Wujud di Sulawesi, terdapat Syekh Yusuf al-Makassari sebagai eksponen yang menyebarkan doktrin wujudiyah atau wahdat al-wujud yang dikenalkan ke halayak ramai, khususnya melalui kanal atau tempat penyaluran hasrat spiritualnya yaitu Tarekat Khalwatiyah.

Transmisi dan Penyebaran Doktrin Wahdat al-Wujud di Kalimantan dilakukan oleh Muhammad Aidarus di Buton dan Muhammad Nafis al-Banjari di wilayah Kamilantan bagian Banjar.

Pembaharuan Wujudiyah di Indonesia

a. Karakteristik dan Kecenderungan

Konflik internal antar ulama dalam menyikapi doktrin wujudiyah terjadi di dunia Islam pada umumnya, baik nusantra ataupun bahkan di Timur Tengah. Embrio polemik dan perdebatan sufistik ini bermula dari sejarah adanya dua kubu tasawuf yang berbeda cara pandang spiritualitasnya, yaitu kubu Khurasan dan Baghdad. Kubu Khurasan lebih menitik tekanpan pada aspek kontemplasi, mengutamakan tawakal, dan hidup asketisme yang luruh bersama Tuhan. Sehingga ada kesan menurut sebagain kalangan bahwa para sufi dari kubu Khurasan seakan-akan mengabaikan aspek syariat sebagai bagian dimensi eksoterik agama. Eksponenya adalah Abu Yazid al-Basthami dengan doktrin fana, baqa dan manunggal bersama Allah; al-Hallaj dengan hulul-nya sampai hukumat mati tidak bisa dihindarinya, demikian juga sufi Dzun al-Nun al-Misri (w.245/859) yang difonis hukum mati oleh fuqhaha madzhab Maliki di Mesir.

Sedangkan kubu Baghdad lebih menitik tekankan pada aspek moralitas (akhlak) yang sempurna dan melaksanakan syari’at dengan benar, baik dan tepat. Eksponennya adalah al-Harits al-Mahatsibi (w.243 H.) dan al-Juneid al-Baghdadi (w. 298 H.).

Antar kedua kubu, Khurasan yang berorientasi tasawuf falsafi dan Baghdad yang cenderung pada tasawuf sunni, sejatinya hanya terjadi polemik dan berdebat di antara mereka, sebatas perbedaan cara pandang yang didiskusikan di ruang publik, tidak sampai konflik berdarah-darah atau tidak sampai satu kubu dengan kubu lainnya saling meniadakan. Justru yang sangat keras menentang kubu Khurasan yang cenderung pada tasawuf falsafi itu adalah dari kalangan ahli fikih dan teologi. Sebab beberapa kasus penjatuhan hukuman mati pada sufi-sufi falsafi disebabkan adanya fatwa dari kalangan ahli fikih yang berada di barisan rezim penguasa.

Fenomena yang sama terjadi juga di Islam nusantra, di satu sisi ada ulama yang menganut pandangan spiritaulisme wujudiyah atau wahdat al-wujud dan di sisi lain terdapat ulama yang menolak doktrin wahdat al-wujud lantaran menganggap ada ulama yang menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Sampai ternjadi konflik, tidak hanya konflik fertikal bahkan konflik horizontal yang terjadi kristalisasinya memuncak pada fonis hukuman mati pada Siti Jenar di Jawa, Abdul Hamid di Kalimantan, dan para pengikut Hamzah Fansuri yang difatwa sesat oleh Nur al-Din al-Raniri.

Setelah itu, muncullah para sufi yang berusaha memperbarui wacana tasawuf falsafi yang memiliki catatan hitam dan kelam dalam sejarah dunia Islam Arab atau pun Indonesia. Mereka disebut sebagai para sufi pembaru. Tujuan pembaruan tersebut adalah menengah-nengahi atau moderasi antara kedua kecenderungan tersebut demi mencapai rekonsiliasi, sebab kedua-duanya mengandung kekurangan dan kelebihannya sekaligus, yang jika kelebihannya diambil dapat disinergikan dalam rancang bangun epistemologi sufistik yang memadai. Demi mencapai tujuan itu, mereka melakukan beberapa langkah, pertama, melakukan penafsiran ulang atas doktrin wujudiyah dengan mensederhanakan teori-teori yang terkesan rumit, agar tidak keliru dalam memahaminya. Kedua, menghilangkan doktrin tasawuf yang cenderung berlebihan (extravagant). Ketiga, mempertegas identitas Tuhan dan makhluk, sehingga keduanya terdapat pembatasan yang jelas.

Keempat, menilainya secara obyektif. Sebagaimana Nur al-Din al-Raniri yang menganggap sesat pengikut Hamzah Fansuri yang memiliki faham wujudiyah, tapi pada saat yang sama ia membenarkan doktrin wujudiyah Ibnu Arabi. Sebab menurut al-Raniri bahwa mereka menyimpang dari pandangan Ibnu Arabi yang tepat. Kelima, menekankan moralitas yang paripurna (akhlak al-karimah). Tasawuf adalah akhlak yang baik dan benar. Dan keenam, menggabungkan antara fikih dan tasawuf. Dan belakangan pembaru tasawuf diistilahkan oleh Fazlur Rahman sebagai neo-sufisme. Pusat perhatian neo-sufisme adalah rekonstruksi sosio moral masyarakat muslim. Dengan demikian, mereka cenderung mengindar dari tasawuf yang mengandung eskatisme dan kandungan metafisikanya, dan digantikan dengan dalil-dalil ortodoksi.          

Perdebatan dan polemik tersebut di nusantara (Indonesia kala itu) akan memusat ke kepemerintahan atau kerajaan, sebagai sentran kekuasaan bagi rakyatanya, baik di Aceh, Sumatera, Kalimatan, Jawa, maupun di Sulawesi. Perebutan qadhi al-qudhat adalah niscaya dilakukan, sebab seorang yang menjabat itu adalah orang yang memiliki otoritas dalam memfonis hukuman baik dan sesat.

b. Ortodoksi dan Rekonsiliasi Tasawuf Islam

Persoalan tasawuf yang semula adalah persoalan privasi atau pribadi seseorang pelaku spiritual (salik), dan rekasinya bersifat eklusif antara dirinya dengan Tuhan. Dalam perkembangannya mengalami dinamisasi menjadi sebuah gerakan spiritual yang terorganisir dan masif, yaitu munculnya tharekat-tharekat. Dan dengan munculnya tharekat, yang dulunya tasawuf sebagai laku pribadi menjadi laku sosial. Dengan demikian, jika ada persoalan yang berakitan dengan spiritaul dan sufisme, secara sertamerta akan merembet dan menyebar dengan cepat. Gesekan pun tidak sekedar individu vis a vis individu atau masyarakat, bahkan lebih jauh gesekan antara komunitas satu tharekat vis a vis tharekat yang lain.

Munculnya fenomena tharekat akibat dari keresahan dan kekhawatiran sebagian syekh sufi akan berkembangnya doktrin wahdat al-wujud di kalangan masyarakat yang tanpa kontrol. Dan tharekat diciptakan bertujuan agar faham dan laku tasawuf mendapatkan kontrol dan arahan yang benar dan mereka tidak tergelincir ke faham-faham yang rumit dan menyimpang. Ibarat organisasi, tharekat memiliki mekanisme, ajaran, aturan, wirid, visi dan misi tertentu, sehingga anggota-anggotanya akan memegang tegung arahannya. Alih-alih tharekat-tharekat didirikan dalam upaya membentengi akidah masyarakat dari tasawuf yang bersifat ekstravagan (berlebih-lebihan), sebagian tharekat mengajarkan tasawuf yang dianggap mengandung ajaran berlebih-lebihan. Gesekan di ruang publik pun tidak terhindarkan—disamping adanya kontestasi perebutan pengikut.    

Di samping tharekat, menguatnya perhatian pada aspek eksoterik (fikih)—juga teologi (tauhid)—di kalangan ulama nusantara. Ulama fikih menyikapi wahdat al-wujud adakalahnya bersikap ekstrim serta keras menentangnya dan adakalanya sebagian yang bersikap moderat.

Ulama yang menentang secara ekstrim terhadap penganut paham wahdat al-wujud di antarnya adalah Nur al-Din al-Raniri dengan memberi hukuman kafir dan boleh dibunuh bagi pengikut paham wahdat al-wujud.

Di samping itu, di Minangkabau muncul gerakan Islam purtitan (kaum modernis) yang diilhami atau terpengaruh oleh kamu Wahabi, yang keras dan ekstrim menentang keras paham wahdat al-wujud secara khusus dan tasawuf secara umum. Islam puritan dari kalangan muda (kaum Mudo) menentang keberisalan kalangan tua (kaum Tuo) yang bernuansa tasawuf. Ketika itu sampai menimbulkan peristiwa perang Paderi. Jika Nur al-Din al-Raniri masih menerima ajaran tasawuf bagian dari agama Islam, meski memilik-memilah wilayah yang tepat dan yang menyimpang, seperti wahdat al-wujud. Sedangkan kaum Mudo di Minangkabau menolak secara total terhadap tasawuf.

Sedangkan pembaru tasawuf yang menekankan aspek eksoterisme Islam yang bersikap moderat terhadap pengikut paham wahdat al-wujud, di antara tokohnya yaitu ‘Abd al-Rahman al-Sinkili dengan mentafsiri ulang (reinterpretasi) pandangan wahdat al-wujud-nya Ibnu Arabi, khususnya pada persoalan identitas serta atribut Tuhan dan makhluk. Sebagaimana yang dijelaskannya dalam kitab Tanbih al-Masyi, bahwa hamba tetap menjadi hamba betapapun ia naik pada tingkat yang tinggi (taraqqi), dan Tuhan tetap Tuhan meskipun Ia turun (tanazzul). Ia juga tidak menekankan imanensi Tuhan daripada transendensiNya. Sebab sejatinya, Ibnu Arabi sendiri menyeimbangkan antara tanzih (transenden) dan imanen (tasybih) yang ada pada Tuhan. ‘Abd al-rahman al-Sinkili mengapresiasi aspek eksotekrik al-Raniri dan mengadopsi askep esoteriknya al-Burhanpuri;

Yusuf al-Maqasaari pun meski mengapresiasi atau bahkan mengadopsi ungkapan-ungkapan dari pendukung wahdat al-wujud seperti Ibnu Arabi, al-Jili, al-Hallaj, Abu Yazid al-Bustami dan al-Burhanpuri, ia tetap membedakan antara hamba dan Tuhan. Ia berkeyakinan bahwa sejauh apapun langkah atau terbang sang salik, tetap pada pijakan syari’at, tidak boleh sekali-kali meninggalkan syari’at;

Abd al-Shamad al-Palimbani mengadakan penyelarasan antara tasawuf al-Ghazali dan Ibnu Arabi. Karyanya, Siyra al-Salikin, merupakan karya adaptasi kitab Ihya al-‘Ulumuddin karya al-Ghazali, dengan beberapa tambahan, menjelaskan pentingnya syari’at untuk mencapai makrifat. Ia juga mengadopsi penjelasan yang mengacu pada madzhab wahdat al-wujud seperti karya Ibnu Arabi, al-Jili, Syams al-Din al-Sumatrani, al-Burhanpuri, dll., sekaligus mengadopsi paham-paham yang lain. Membuat karya tasawuf yang bersifat eklektis. Bahkan ia menjelaskan wahdat al-wujud dengan menggunakan pendekatan dan perspektif al-Ghazali;

Selanjutnya Muhammad Nafis al-Banjari mendamaikan tasawuf al-Ghazali dan Ibnu Arabi yang tercermin dalam kitab karyanya, Durra al-Nafis, yang membagi tauhid pada empat bagian, yaitu al-tauhid al-af’al (keesaan perbuatan Tuhan), tauhid as-sifah (keesaan sifat-sifat Tuhan), tauhid al-asma’ (keesaan nama-nama Tuhan) dan tauhid al-dzat (keesaan esensi Tuhan) yang merupakan tauhid tertinggi. Dan tauhid tertinggi ini termasuk di dalamnya ajaran wahdat al-wujud, sedangkan orang yang hendak mendaki ke tauhid yang paling tinggi tersebut harus melalui jalan syari’at, mustahil orang akan mendapatkan pengalaman kasyf (penyingkapan spiritual) tanpa melalui jalan syari’at. Selanjutnya banyak ulama yang berusaha mensintesakan tasawuf al-Ghazali dan Ibnu Arabi, seperti Arsyad al-Banjari, dll.   

Sementara di Jawa, ada dua Serta yang berbeda isi bahkan bertentangan, yaitu Serta Cabolek dan Serat Centini. Serat Cabolek yang berisi kisah Kyai Mutamakkin yang menyimpang dari jalan syari’at dan Katib Anom yang patuh pada syari’at. Berbeda dengan karya Kyai Mutamakkin yang asli, yaitu ‘Arsy al-Muwahidin, yang bertolak belakang dengan isi Serat Cabolek. Justru dalam karyanya yang asli Kyai Mutamakkin menekankan juga aspek syari’at dalam Islam.

Perkembangan selanjutnya, pada abad ke-19 paham wahdat al-wujud berangsung-angsur ditinggalkan dan karya-karya Ibnu Arabi nyaris tidak dikaji dan dibaca oleh ulama yang memiliki masa banyak. Hanyak sedikit orang yang tertarik membaca dan memahaminya.

Di Jawa, muncul tiga tokoh yang cukup berpengaruh, yaitu Ahmad Rifa’i (1875) dari Kalisalak yang produktif menulis dengan bahasa Arab dan ditulis dengan syair-syair Arab Pegon, Muhammad bin Umar al-Nawawi al-Bantani (1230/1813-1314/1897) dari Banten yang produktif menulis kitab dengan bahasa Arab dan Muhammad Kholil dari Bangkalan Madur yang menulis dan memiliki pesantren yang kelak melahirkan ulama-ulama yang sangat berpengaruh di Indonesia. Di antara murdinya adalah KH. Hasyim Asy’ari. Jaringan ulama yang di Jawa telah mengusung tasawuf sunni dan berorientasi pada fikih. Tasawuf al-Ghazali sangat dominan dan mendapatkan peminat yang cukup luas, khususnya kalangan santri, lantaran di pesantren terdapat kurikulum atau ekstrakurikuler mata pelajaran kitab-kitab al-Ghazali. Sehingga paham wahdat al-wujud tidak ada peminatnya. Cukup disayangkan memang, padahal sebelumnya sebagian ulama telah berusaha mengawinkan tasawuf al-Ghazali dan Ibnu Arabi. Namun pada abad ke-19 sampai sekarang justru tasawuf al-Ghazali lah yang berpijar dan mengudara, sedangkan khazanah tasawuf Ibnu Arabi redup.

Penutup

Wihdat al-wujud masuk ke Indonesia pada abad ke-12, bersamaan dengan masuknya Islam secara masif. Ada beberapa kendala yang mengganjal perkembangan wahdat al-wujud di Indoneisa, di antaranya yaitu pertama, masyarakat baru mengenal Islam, sehingga belum bisa diajak memahami wahdat al-wujud yang cenderung rumit dan agak susah untuk difahami secara maksimal. Kedua, lantaran konsep wahdat al-wujud cukup rumit, sehingga para pengikut atau penggemarnya sering kali salah memahaminya, atau berlebihan yang keluar dari jalur wahdat al-wujud yang dikonsepkan oleh pendahulunya. Para ulama yang mengecam disebabkan para pengikut wahdat al-wujud tidak memahami secara memadai, seperti lebih menekankan imanensi Tuhan tehadap alam, padahal dalam pemahaman yang benar mestinya metafisika wihdat al-wujud sebagai konsep tidak pernah menekankan salah satu antara imanensi dan transendensi Tuhan. Justri orang seperti Ibnu Arabi, al-Jili dan Hanzah Fansuri menyeimbangkan antara imanensi (tasybih) dan transendensi (tanzih) Tuhan.

Ada langkah-langkah cerdas dari kalangan ulama penganut faham wihdat al-wujud demi menyelesaikan benang kusut perdebatan dan polemik antar ulama serta resistensi masyarakat yang berkepanjangan tersebut, yaitu pertama, memunculkan ajaran martabat tujuh yang menjelaskan proses tajalli (manifestasi) al-Haq (Yang Maha Benar) secara sederhana dan ringkas. Dan kedua, menyadari akan pentingnya harmonisasi antara syari’at dan tasawuf. Dan mengkawinkan keduanya dalam satu entitas doktrin.

Namun, kecenderungan ortodoksi tasawuf dan meninggalkan faham wahdat al-wujud semakin menguat di Indonesia semenjak abad ke-18. Ada pembagian doktrin dan kitab tasawuf yang boleh diajarkan dan dikaji dan  ada yang dilarang. Dan doktrin dan kitab tasawuf yang dilarang adalah kitab-kitab yang menjelaskan kandungan doktrin wihdat al-wujud. Sampai abad ke-20, hampir tidak ditemukan pengajaran tentang doktrin wihdat al-wujud, seperti kitab-kitab yang ditulis Ibnu Arabi, di pesantren-pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia, kecuali bagi orang-orang tertentu yang dianggap sudah mumpuni dan mampu mem-filter atau memilih-memilah antara tasawuf yang benar dan salah dan itupun dipelajari secara outodidak (belajar sendiri), bukan ada dukungan dari pesantren sebagai lembaga.      

Tiada ulasan:

Catat Ulasan