Dinamika Doktrin Wihdat al-Wujud Dalam Sejarah Indonesia.
Oleh
Dr. Mukti Ali.
Prolog
Wihdat al-wujud (the unity of being) atau
wujudiyah sebagai konsep dan aliran dalam tasawuf, mengalami perkembangan dan
tantangan sekaligus perubahan. Seringkali wihdat al-wujud disalah fahami dan
difahami secara keliru, yang menyebabkan label sesat, murtad dan kafir bahkan
mulhid (ateis) menempel padanya. Hal ini tidak hanya terjadi di Timur Tengah
(Arab) an sich, melainkan di Nusantara pun sederet sufi besar yang mengusung
pemikiran tersebut mengalami masa-masa tragis dengan menerima respons negatif
dan ekstrim dari ulama-ulama setempat. Meski sebagian ulama lebih bersikap
moderat, menengah-nengahi di atara sufi yang mengusung wujudiyah dan ulama yang
menentangnya dengan keras. Dilaketika ini memunculkan inovasi-inovasi baru
dalam rancang bangun filsafat wujudiyah sebagai konsep sufistik.
Menarik untuk dikaji persoalan kontinuitas,
dinamisasi dan perubahan konsep wahdat al-wujud atau wujudiyah di Indonesia.
Dengan menggunakan data teks-teks yang ditulis langsung atau yang diedit
(ditahqiq) para sarjana kontemporer sebagai data primer, dan data sekunder
diambil dari teks-teks yang mengkaji topik dan tokoh tasawuf nusantara. Dikaji
dengan pendekatan berbagai perspektif, seperti pendekatan politik, sosial
ekonomi, teologi dan pendekatan sejarah. Serta kajian intertekstual, dengan
melalui empat tahap yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi dan penyajian.
Sejatinya Wihdat al-wujud masuk ke Indonesia
pada abad ke-12, bersamaan dengan masuknya Islam secara masif. Para ulama yang
mengecam lantaran para pengikutnya tidak memahami secara memadai, yang lebih
menekankan imanensi Tuhan tehadap alam, padahal dalam pemahaman yang benar
mestinya metafisika wihdat al-wujud sebagai konsep tidak pernah menekankan
salah satu antara omanensi dan transendensi Tuhan.
Ada dua langkah cerdas dari kalangan ulama
penganut faham wihdat al-wujud demi menyelesaikan benang kusut perdebatan dan
resistensi yang berkepanjangan tersebut, yaitu pertama, memunculkan ajaran
martabat tujuh yang menjelaskan proses tajalli (manifestasi) al-Haq (Yang Maha
Benar) secara sederhana dan ringkas. Dan kedua, menyadari akan pentingnya
harmonisasi antara syari’at dan tasawuf.
Namun, kecenderungan ortodoksi tasawuf dan
meninggalkan faham wahdat al-wujud semakin menguat di Indonesia semenjak abad
ke-18. Ada pembagian doktrin dan kitab tasawuf yang boleh diajarkan dan dikaji
dan ada yang dilarang. Dan doktrin dan
kitab tasawuf yang dilarang di ataranya adalah wihdat al-wujud. Sampai abad
ke-20, hampir tidak ditemukan pengajaran tentang ajaran wihdat al-wujud,
seperti kitab-kitab yang ditulis Ibnu Arabi di pesantren-pesantren sebagai
lembaga pendidikan Islam di Indonesia, kecuali bagi orang-orang tertentu yang
dianggap sudah mumpuni dan mampu mem-filter atau memilih-memilah antara tasawuf
yang benar dan salah.
Tulisan ini hendak memotret perkembangan,
dinamika, dan perubahan konsepsional wahdat al-wujud dari masa ke masa, dari
generasi ke generasi, dari para tokohnya di Timur Tengah sampai terjadi
perubahan dan akulturasi di Indonesia. bahwa wujudiyah atau wahdat al-wujud
(the unity of being) sebagai bagian dari tasawuf falsafi yang cukup
kontroversial di kalangan umat Islam di Timur Tengah ataupun di Indonesia. Tidak
sedikit para tokohnya yang menjadi martir, sebagaimana di Timur Tengah yaitu
al-Hallaj (244/857-309/922), ‘Ain Qudhat al-Hamdani (492/1099-525/1131) dan
Suhrawardi (550/1155-587/1191) yang ketiga-tiganya dihukum mati, sebagai bukti
dari resistensi dan reaksi negatif dari masyarakat pada saat itu. Sedangkan di
Indonesia, wahdat al-wujud sering diidentikkan dengan Hamzah Fanshuri yang
dihukum mati oleh rezim dan Syekh Siti Jenar, yang keduanya bernasib menjadi
martir.
Namun, sebelum wahdat al-wujud dituduh
sebagai faham yang “disalah artikan”, ia pernah mencapai puncak
kegemilangannya, yaitu pada masa Pemerintahan Sultan Mansur Syah (1456-1477 M.)
di nusantara (Malaka), yang menurut para ahli menyatakan bahwa faham Insan
Kamil (Manusia Sempurna) al-Jili (w. 805/1403) dimaksudkan sebagai alat atau
justifikator religius untuk mendewa-dewakan golongan raja, sebab dalam kitab
al-Insan al-Kamil al-Jili terdapat kisah yang diceritakan bahwa Nabi Khidir
masih hidup dan menjadi wazir Iskandar Zulkarnain. Kisah ini sebagai dukungan
bagi raja Malaka yang secara kebetulan keturunan Iskandar Zulkarnain.
Tasawuf falsafi dan wahdat al-wujud pun masuk
ke Aceh, pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Mansyur Syah (1581-1587), dengan
tibanya Abu al-Khair Ibn Hajar dari Makkah, pengarang kitab Saif al-Qati’,
penganut aliran Syi’ah, meyakini kebenaran filsafat wahdat al-wujud dan konsep
a’yan at-tasbitah (entitas-entitas permanen).
Pada saat yang bersamaan, resistensi pun
tidak dapat dielakkan. Polemik antar ulama terus mewarnai perjalanannya.
Perdebatan di ruang publik tak pelak lagi menjadi keniscayaan sejarah.
Pembredelan dan pemberangusan kitab-kitab wahdat al-wujud terjadi.
Melihat fenomena wahdat al-wujud yang begitu
kontroversi tersebut, muncul seorang sufi dari India abad ke-17, yaitu Muhammad
Fadlullah al-Burhanpuri (w. 1620) menggagas doktrin martabat tujuh yang
berusaha menjelaskan wahdat al-wujud dengan cara-cara yang ringan, ringkas dan
menjadi terhindar dari polemik. Karyanya yang menjelaskan martabat tujuh adalah
kitab Tuhfat al-Mursalah ila Ruh al-Nabi, yang dikirim ke Aceh pada tahun
sekitar 1590. Dan kitab tersebut lah yang dijadikan rujukan utama dalam
memahami doktrin wujudiyah. Di nusantara Syeikh Syams al-Din al-Sumatrani (w.
1630) dikenal sebagai ulama yang pertama kali menganjurkan agar merujuk pada
kitab tersebut, seperti pernyataannya dalam kitab Jauhar al-Haqaiq, Nur
al-Haqaiq, Mir’at al-Imam (Mir’at al-Mu’minin) dan al-Harakat.
Sejatinya martabat tujuh merupakan
pengembangan dari martabat lima yang digagas oleh al-Jili dan Hamzah Fansuri.
Meski ada perbedaan dalam rincian dan istilah yang digunakan, seperti martabat
lima al-Jili yaitu al-‘Amma, Ahadiyya, Huwwiya, Anniya, Wahidiya, dst.;
martabat lima Hamzah Fansuri yaitu Ahadiya, Ta’ayyun al-Awwal (2 aspek), Ahad,
Wahid, Ta’ayun al-Tsani, dst.; sedangkan martabat tujuh al-Burhanpuri yaitu
Ahadiya, Wahda, Wahidiyya, ‘Alam al-Arwah, ‘Alam al-Mitsal, ‘Alam al-Ajsam, dan
‘Alam al-Insan.
Martabat tujuh sebagai penjelasan dari
doktrin wahdat al-wujud semakin terkenal setelah mendapatkan pendukung dan
pengikut baik di Aceh pada masa ‘Abd al-Rauf al-Sinkili maupun di Jawa. Ada
beberapa murid ‘Abd al-Rauf al-Sinkili di Jawa yang mengajarkan doktrin
martabat tujuh, seperti ‘Abd al-Muhyi di Pamijahan, yang disebarkan oleh
muridnya yang dikenal Bagus Nur Tjadin dari Cirebon, purtanya Bagus Anom (Mas
Pekik Ibrahim) dan Haji ‘Abdullah melalui saluran tarekat Syattariyah.
Di Jawa Tengah, wujudiyah disebarkan oleh
Embah Mutamakkin, yang tertera dalam Serat Centini, yang isinya bercerita
tentang kisah polemik antara Ketib Anom Kudus dengan Haji Mutamakkin yang
menganut wahdat al-wujud, dan Serat Dewa Ruci dan komentar yang ditulis oleh
Yasadipa I (w. 1803) pada akhir abad ke-18. Dan doktrin martabat tujuh pun
dipaparkan oleh Ranggawarsita dalam Wirid Hidayat Jati.
Konsep martabat tujuh pada abad ke-17 masuk
ke wilayah kesultanan Buton, pada masa kekuasaan Sultan Laelangi Dayan Ihsan
al-Din yang membuat undang-undang negara berdasarkan doktrin martabat tujuh.
Dimungkinkan masuk melalui karya Syams al-Din al-Sumatrani seperti Nur
al-Daqaiq.
Terdapat keunikan dari sebuah perjalanan
sejarah konsep wahdat al-wujud di Indonesia, yang pada awalnya mendapatkan
tantangan dan penolakan dari sebagian besar masyarakat Islam, setelah munculnya
doktrin martabat tujuh sebagai interpretasi atau reinterpretasi wahdat al-wujud
akhirnya diterima oleh masyarakat dan mengalami kegemilangan, lantaran dianggap
selaras dengan doktrin tasawuf sunni.
Wihdat
al-Wujud: Konsep dan Ajaran
Konsep dan ajaran wahdat al-wujud yang
diusung oleh tiga tokoh, yaitu Ibnu ‘Arabi (569/1165-638/1240), ‘Abd al-Karim
al-Jili (767/1365-805/1402) dan Ibn al-Fadlullah al-Burhanpuri. Satu persatu
dijabarkan riwayat dan karya-karyanya, setelah itu dijelaskan poin-poin penting
pemikirannya yang terkait dengan wahdat al-wujud. Penulis disertasi ini
menjelaskan, pertama, Wahdat al-Wujud Ibn ‘Arabi (569/1165-638/1240), yang
membahas beberapa poin besar gagasan Ibnu Arabi. Yaitu,
1). Tuhan dan alam semesta. Ibnu Arabi
menegaskan bahwa realitas atau wujud tunggal yang hakiki adalah Allah,
sedangkan alam semesta yeng majemul dan serba banyak ini hanyalah sebuah wadah
manifestasi (tajalli) dari segenap asma’ (nama-nama) dan sifatNya. Realitas
tunggal itu mempunyai dua aspek yaitu Tuhan bila dipandang sebagai esensi dan
makhluk bila ditinjau sebagai fenomena yang memanifestasikan esensinya itu.
2). Tanzih (Transendensi) dan tasybih
(Imanensi). Menurut Ibnu Arabi, sebagian ayat-ayat al-Quran mentanzihkan dan
sebagian yang lain mentasybihkan-Nya. Dengan demikian, Tuhan ditanzihkan dengan
tanpa menafikan tasybih, dan mentasybihkan dengan tanpa menafikan tanzih. Tuhan
adalah dzat yang tanzih (transenden), berbeda dengan makhluknya, sekaligus
tasybih (imanen) serupa dengan makhluknya sebab makhluk adalah
replika-Nya.
3). Tajalli al-Haq (Manifestasi Yang Maha
Benar). Tajalli Tuhan menurut Ibnu Arabi mengambil dua bentuk, yaitu dzati dan
tajalli syuhudi. Tajalli dalam bentuk yang pertama (zati) hanya terjadi dalam
esensi Tuhan, oleh sebab itu wujudnya tidak berbeda dengan esensi Tuhan.
Sedangkan tajalli syuhudi mengambil citra aktual dalam berbagai fenomena alam
semesta.
Kedua, Wahdat al-Wujud al-Jili
(767/1365-805/1402). Setelah penulis menjelaskan riwayat hidup dan karya-karya
al-Jili, kemudian dijelaskan poin-poin penting pemikiran wahdat al-wujud
al-Jili, yaitu;
1).
Tuhan dan alam. Penciptaan makhluk atau alam semesta dari proses tajalli
(manifestasi) Tuhan. Menurut al-Jili, tajalli Tuhan yang berlangsung secara
terus menerus ini terjadi dalam lima tingkatan. Yaitu martabat uluhiyah,
martabat ahadiyah, martabat wahidiyah, martabat rahmaniyah dan martabat
rububiyah.
2). Konsep Insan al-Kamil (Manusia Sempurna).
Insan kamil (manusia sempurna) adalah wadah tajalli (manifestasi) Tuhan yang
paling sempurna. Sebab hanya manusia sempurna yang mampu menampakkan nama-nama
Tuhan secara utuh dan sempurna.
Insan kamil memiliki tiga tingkat. Pertama,
manusia sempurna yang hanya dapat merealisasikan nama Tuhan pada dirinya.
Kedua, insan kamil (manusia sempurna) dikaitkan dengan realitas kasih sayang
Tuhan. Dan ia telah memiliki sebagian pengetahuan tentang hal-hal ghaib yang
telah dibukakan Tuhan kepadanya. Ketiga, insan kamil memiliki pengetahuan rahasia
penciptaan takdir, ia telah mampu menampilkan manifestasi Ilahi secara utuh.
Dan ketiga, Wahdat al-Wujud al-Burhanpuri.
Setelah penulis menjelaskan riwayat hidup dan karya-karyanya. Ia menjelaskan
beberapa persoalan yang sangat penting, yaitu;
1). Tuhan dan Alam Semesta. Sebagaimana
pengikut doktrin wahdat al-wujud lainnya, al-Burhanpuri pun berpendapat bahwa
satu-satunya yang memiliki wujud hakiki dan realitas tunggal hanya Allah.
Sedangkan yang lainnya adalah manifestasi dari dzatNya.
2). Martabat Tujuh (al-Maratib al-Sab’ah)
al-Burhanpuri. Menurut al-Burhanpuri bahwa Tuhan menampakkan dirinya (tajalli)
melalui tujuh tahap wujud dan penciptaan manusia merupakan tahap terakhir serta
tahap kreasi yang paling paripurna dari seluruh rangkaian tajalli-Nya atau
al-maratib al-sab’ah (determinasi tujuh).
Determinasi pertama (maratib), la ta’ayun
atau ahadiyah (the unity) atau disebut dengan indeterminasi. Wujud dalam
martabah ini tidak mempunyai sifat, tidak disifati dan terbebas dari segala
ikatan. Dikatakan sebagai zat Mutlak atau Ghaybu al-Ghuyub (Misteri yang Ghaib)
atau Ghaib al-Huwiyyah (identitas tak terdeteksi).
Kedua, determinasi pertama (maratib
al-ta’ayyun al-awal). Tuhan berkehendak menciptakan sesuatu oleh karena Dia
mengetahui zat dan sifatNya serta seluruh maujudat, hanya saja secara gelobal,
belum terperinci.
Ketiga, determinasi kedua (maratib
al-ta’ayyun al-tsani). Tuhan mengetahui zat dan sifatNya serta seluruh maujudat
secara terperinci.
Keempat, ‘alam al-arwah yaitu pengumpamaan
(ibarat) dari segala sesuatu yang ada di alam ini yang bersifat murni dan
sederhana yang tampak pada zat-zat dan semisalnya.
Kelima, ‘alam al-mitsan, sebuah ungkapan dari
sesuatu yang halus yang tidak menerima susunan dan tidak dapat diceraikan
bagian-bagiannya.
Keenam, ‘alam al-ajsama merupakan
pengungkapan tentang segala sesuatu yang ada dan tersusun dengan susunan yang
padat dan kasar serta dapat dibagi dan dipisahkan.
Ketujuh, martabah al-jam’iyah atau martabat
al-Insan (martabat manusia) adalah martabat bagi semua martabat yang telah
disebutkan baik yang bersifat jasmani, yang bersifat nurani, begitu pula wahdat
dan wahidiyyah, tajalli yang terakhir.
Wujudiah
atau Wihdat al-Wujud di Indonesia
Tasawuf sebagai kanal penyebaran Islam
pertama kali di bumi Indonesia. Berbagaimacan teori masuknya Islam ke Indonesia
dijabarkan secara rinci, ada yang mengatakan Islam datang dari Gujarat, India,
Yaman, Arab, dan yang lainnya. Dan proses penyebarannya tidak bisa lepas dari
peran penting para pedagang yang lelaku sufi atau para dai yang berjiwa sufi,
sehingga masuknya Islam ke Indonesia tidak melalui peperangan, tidak ada
tumpahan darah yang mengalir, melainkan dengan cinta kasih dan damai.
Setelah memaparkan sejarah singkat masuknya
Islam di Indonesia. Penulis disertasi ini menjelaskan sejarah masuk dan
berkembangnya doktrin wujudiyah atau wahdat al-wujud di Indonesia. Penulis
menjelaskan perkembangan wujudiyah berbagai wilayah yang ada di Indonesia.
Pertama, penulis menjelaskan transmisi, penyebaran dan perkembangan wujudiyah
atau doktrin wahdat al-wujud di tanah Jawa, yang dikenalkan dan dipresentasikan
oleh Syekh Siti Jenar, Ahmad Mutamakin yang diceritakan dalam Serat Cabolek,
Abdul Muhyi di Pamijahan yang mengajarkan Martabat Tujuh, dan Ranggawarsita
yang mengenalkan wujudiyah lewat sastra, sebab ia merupakan apa yang dikenal
sebagai “Pujangga Penutup”.
Trnasmisi dan penyebaran wujudiyah di wilayah
Aceh dikenalkan dan diajarkan oleh Hamzah Fansuri yang mendapatkan pengikut
yang cukup banyak dan bahkan mendapatkan dukungan penguasa. Meski setelah itu,
diberangus oleh seorang ulama, yang mendapatkan mandat jabatan qadli al-qudhat
(Hakim Tinggi), yaitu Nur al-Din al-Raniri.
Transmisi dan Penyebaran Doktrin Wahdat
al-Wujud di Sumatra dikenalkan oleh Syams al-Din al-Sumatrani dengan
mengajarkan Martabat Tujuh; ‘Abd al-Rauf al-Sinkili yang berusaha membaruan
doktrin Wujudiyah dengan mengkompromikan antara tasawuf al-Ghazali dan Ibnu
Arabi; Abd as-Samad al-Palimbani mentransformasikan doktrin wujudiyah di
Palembang.
Transmisi dan Penyebaran Doktrin Wahdat
al-Wujud di Sulawesi, terdapat Syekh Yusuf al-Makassari sebagai eksponen yang
menyebarkan doktrin wujudiyah atau wahdat al-wujud yang dikenalkan ke halayak
ramai, khususnya melalui kanal atau tempat penyaluran hasrat spiritualnya yaitu
Tarekat Khalwatiyah.
Transmisi dan Penyebaran Doktrin Wahdat
al-Wujud di Kalimantan dilakukan oleh Muhammad Aidarus di Buton dan Muhammad
Nafis al-Banjari di wilayah Kamilantan bagian Banjar.
Pembaharuan
Wujudiyah di Indonesia
a. Karakteristik
dan Kecenderungan
Konflik internal antar ulama dalam menyikapi
doktrin wujudiyah terjadi di dunia Islam pada umumnya, baik nusantra ataupun
bahkan di Timur Tengah. Embrio polemik dan perdebatan sufistik ini bermula dari
sejarah adanya dua kubu tasawuf yang berbeda cara pandang spiritualitasnya,
yaitu kubu Khurasan dan Baghdad. Kubu Khurasan lebih menitik tekanpan pada
aspek kontemplasi, mengutamakan tawakal, dan hidup asketisme yang luruh bersama
Tuhan. Sehingga ada kesan menurut sebagain kalangan bahwa para sufi dari kubu
Khurasan seakan-akan mengabaikan aspek syariat sebagai bagian dimensi eksoterik
agama. Eksponenya adalah Abu Yazid al-Basthami dengan doktrin fana, baqa dan
manunggal bersama Allah; al-Hallaj dengan hulul-nya sampai hukumat mati tidak
bisa dihindarinya, demikian juga sufi Dzun al-Nun al-Misri (w.245/859) yang
difonis hukum mati oleh fuqhaha madzhab Maliki di Mesir.
Sedangkan kubu Baghdad lebih menitik tekankan
pada aspek moralitas (akhlak) yang sempurna dan melaksanakan syari’at dengan
benar, baik dan tepat. Eksponennya adalah al-Harits al-Mahatsibi (w.243 H.) dan
al-Juneid al-Baghdadi (w. 298 H.).
Antar kedua kubu, Khurasan yang berorientasi
tasawuf falsafi dan Baghdad yang cenderung pada tasawuf sunni, sejatinya hanya
terjadi polemik dan berdebat di antara mereka, sebatas perbedaan cara pandang
yang didiskusikan di ruang publik, tidak sampai konflik berdarah-darah atau
tidak sampai satu kubu dengan kubu lainnya saling meniadakan. Justru yang
sangat keras menentang kubu Khurasan yang cenderung pada tasawuf falsafi itu
adalah dari kalangan ahli fikih dan teologi. Sebab beberapa kasus penjatuhan
hukuman mati pada sufi-sufi falsafi disebabkan adanya fatwa dari kalangan ahli
fikih yang berada di barisan rezim penguasa.
Fenomena yang sama terjadi juga di Islam
nusantra, di satu sisi ada ulama yang menganut pandangan spiritaulisme
wujudiyah atau wahdat al-wujud dan di sisi lain terdapat ulama yang menolak
doktrin wahdat al-wujud lantaran menganggap ada ulama yang menyimpang dari ajaran
Islam yang benar. Sampai ternjadi konflik, tidak hanya konflik fertikal bahkan
konflik horizontal yang terjadi kristalisasinya memuncak pada fonis hukuman
mati pada Siti Jenar di Jawa, Abdul Hamid di Kalimantan, dan para pengikut
Hamzah Fansuri yang difatwa sesat oleh Nur al-Din al-Raniri.
Setelah itu, muncullah para sufi yang
berusaha memperbarui wacana tasawuf falsafi yang memiliki catatan hitam dan
kelam dalam sejarah dunia Islam Arab atau pun Indonesia. Mereka disebut sebagai
para sufi pembaru. Tujuan pembaruan tersebut adalah menengah-nengahi atau
moderasi antara kedua kecenderungan tersebut demi mencapai rekonsiliasi, sebab
kedua-duanya mengandung kekurangan dan kelebihannya sekaligus, yang jika
kelebihannya diambil dapat disinergikan dalam rancang bangun epistemologi
sufistik yang memadai. Demi mencapai tujuan itu, mereka melakukan beberapa
langkah, pertama, melakukan penafsiran ulang atas doktrin wujudiyah dengan
mensederhanakan teori-teori yang terkesan rumit, agar tidak keliru dalam
memahaminya. Kedua, menghilangkan doktrin tasawuf yang cenderung berlebihan
(extravagant). Ketiga, mempertegas identitas Tuhan dan makhluk, sehingga
keduanya terdapat pembatasan yang jelas.
Keempat, menilainya secara obyektif.
Sebagaimana Nur al-Din al-Raniri yang menganggap sesat pengikut Hamzah Fansuri
yang memiliki faham wujudiyah, tapi pada saat yang sama ia membenarkan doktrin
wujudiyah Ibnu Arabi. Sebab menurut al-Raniri bahwa mereka menyimpang dari
pandangan Ibnu Arabi yang tepat. Kelima, menekankan moralitas yang paripurna
(akhlak al-karimah). Tasawuf adalah akhlak yang baik dan benar. Dan keenam,
menggabungkan antara fikih dan tasawuf. Dan belakangan pembaru tasawuf
diistilahkan oleh Fazlur Rahman sebagai neo-sufisme. Pusat perhatian
neo-sufisme adalah rekonstruksi sosio moral masyarakat muslim. Dengan demikian,
mereka cenderung mengindar dari tasawuf yang mengandung eskatisme dan kandungan
metafisikanya, dan digantikan dengan dalil-dalil ortodoksi.
Perdebatan dan polemik tersebut di nusantara
(Indonesia kala itu) akan memusat ke kepemerintahan atau kerajaan, sebagai
sentran kekuasaan bagi rakyatanya, baik di Aceh, Sumatera, Kalimatan, Jawa,
maupun di Sulawesi. Perebutan qadhi al-qudhat adalah niscaya dilakukan, sebab
seorang yang menjabat itu adalah orang yang memiliki otoritas dalam memfonis
hukuman baik dan sesat.
b. Ortodoksi
dan Rekonsiliasi Tasawuf Islam
Persoalan tasawuf yang semula adalah
persoalan privasi atau pribadi seseorang pelaku spiritual (salik), dan
rekasinya bersifat eklusif antara dirinya dengan Tuhan. Dalam perkembangannya
mengalami dinamisasi menjadi sebuah gerakan spiritual yang terorganisir dan
masif, yaitu munculnya tharekat-tharekat. Dan dengan munculnya tharekat, yang
dulunya tasawuf sebagai laku pribadi menjadi laku sosial. Dengan demikian, jika
ada persoalan yang berakitan dengan spiritaul dan sufisme, secara sertamerta
akan merembet dan menyebar dengan cepat. Gesekan pun tidak sekedar individu vis
a vis individu atau masyarakat, bahkan lebih jauh gesekan antara komunitas satu
tharekat vis a vis tharekat yang lain.
Munculnya fenomena tharekat akibat dari
keresahan dan kekhawatiran sebagian syekh sufi akan berkembangnya doktrin
wahdat al-wujud di kalangan masyarakat yang tanpa kontrol. Dan tharekat
diciptakan bertujuan agar faham dan laku tasawuf mendapatkan kontrol dan arahan
yang benar dan mereka tidak tergelincir ke faham-faham yang rumit dan
menyimpang. Ibarat organisasi, tharekat memiliki mekanisme, ajaran, aturan,
wirid, visi dan misi tertentu, sehingga anggota-anggotanya akan memegang tegung
arahannya. Alih-alih tharekat-tharekat didirikan dalam upaya membentengi akidah
masyarakat dari tasawuf yang bersifat ekstravagan (berlebih-lebihan), sebagian
tharekat mengajarkan tasawuf yang dianggap mengandung ajaran berlebih-lebihan.
Gesekan di ruang publik pun tidak terhindarkan—disamping adanya kontestasi
perebutan pengikut.
Di samping tharekat, menguatnya perhatian
pada aspek eksoterik (fikih)—juga teologi (tauhid)—di kalangan ulama nusantara.
Ulama fikih menyikapi wahdat al-wujud adakalahnya bersikap ekstrim serta keras
menentangnya dan adakalanya sebagian yang bersikap moderat.
Ulama yang menentang secara ekstrim terhadap
penganut paham wahdat al-wujud di antarnya adalah Nur al-Din al-Raniri dengan
memberi hukuman kafir dan boleh dibunuh bagi pengikut paham wahdat al-wujud.
Di samping itu, di Minangkabau muncul gerakan
Islam purtitan (kaum modernis) yang diilhami atau terpengaruh oleh kamu Wahabi,
yang keras dan ekstrim menentang keras paham wahdat al-wujud secara khusus dan
tasawuf secara umum. Islam puritan dari kalangan muda (kaum Mudo) menentang
keberisalan kalangan tua (kaum Tuo) yang bernuansa tasawuf. Ketika itu sampai
menimbulkan peristiwa perang Paderi. Jika Nur al-Din al-Raniri masih menerima
ajaran tasawuf bagian dari agama Islam, meski memilik-memilah wilayah yang
tepat dan yang menyimpang, seperti wahdat al-wujud. Sedangkan kaum Mudo di
Minangkabau menolak secara total terhadap tasawuf.
Sedangkan pembaru tasawuf yang menekankan
aspek eksoterisme Islam yang bersikap moderat terhadap pengikut paham wahdat
al-wujud, di antara tokohnya yaitu ‘Abd al-Rahman al-Sinkili dengan mentafsiri
ulang (reinterpretasi) pandangan wahdat al-wujud-nya Ibnu Arabi, khususnya pada
persoalan identitas serta atribut Tuhan dan makhluk. Sebagaimana yang
dijelaskannya dalam kitab Tanbih al-Masyi, bahwa hamba tetap menjadi hamba
betapapun ia naik pada tingkat yang tinggi (taraqqi), dan Tuhan tetap Tuhan
meskipun Ia turun (tanazzul). Ia juga tidak menekankan imanensi Tuhan daripada
transendensiNya. Sebab sejatinya, Ibnu Arabi sendiri menyeimbangkan antara
tanzih (transenden) dan imanen (tasybih) yang ada pada Tuhan. ‘Abd al-rahman
al-Sinkili mengapresiasi aspek eksotekrik al-Raniri dan mengadopsi askep
esoteriknya al-Burhanpuri;
Yusuf al-Maqasaari pun meski mengapresiasi
atau bahkan mengadopsi ungkapan-ungkapan dari pendukung wahdat al-wujud seperti
Ibnu Arabi, al-Jili, al-Hallaj, Abu Yazid al-Bustami dan al-Burhanpuri, ia
tetap membedakan antara hamba dan Tuhan. Ia berkeyakinan bahwa sejauh apapun
langkah atau terbang sang salik, tetap pada pijakan syari’at, tidak boleh
sekali-kali meninggalkan syari’at;
Abd al-Shamad al-Palimbani mengadakan
penyelarasan antara tasawuf al-Ghazali dan Ibnu Arabi. Karyanya, Siyra
al-Salikin, merupakan karya adaptasi kitab Ihya al-‘Ulumuddin karya al-Ghazali,
dengan beberapa tambahan, menjelaskan pentingnya syari’at untuk mencapai
makrifat. Ia juga mengadopsi penjelasan yang mengacu pada madzhab wahdat
al-wujud seperti karya Ibnu Arabi, al-Jili, Syams al-Din al-Sumatrani,
al-Burhanpuri, dll., sekaligus mengadopsi paham-paham yang lain. Membuat karya
tasawuf yang bersifat eklektis. Bahkan ia menjelaskan wahdat al-wujud dengan
menggunakan pendekatan dan perspektif al-Ghazali;
Selanjutnya Muhammad Nafis al-Banjari
mendamaikan tasawuf al-Ghazali dan Ibnu Arabi yang tercermin dalam kitab
karyanya, Durra al-Nafis, yang membagi tauhid pada empat bagian, yaitu
al-tauhid al-af’al (keesaan perbuatan Tuhan), tauhid as-sifah (keesaan
sifat-sifat Tuhan), tauhid al-asma’ (keesaan nama-nama Tuhan) dan tauhid al-dzat
(keesaan esensi Tuhan) yang merupakan tauhid tertinggi. Dan tauhid tertinggi
ini termasuk di dalamnya ajaran wahdat al-wujud, sedangkan orang yang hendak
mendaki ke tauhid yang paling tinggi tersebut harus melalui jalan syari’at,
mustahil orang akan mendapatkan pengalaman kasyf (penyingkapan spiritual) tanpa
melalui jalan syari’at. Selanjutnya banyak ulama yang berusaha mensintesakan
tasawuf al-Ghazali dan Ibnu Arabi, seperti Arsyad al-Banjari, dll.
Sementara di Jawa, ada dua Serta yang berbeda
isi bahkan bertentangan, yaitu Serta Cabolek dan Serat Centini. Serat Cabolek
yang berisi kisah Kyai Mutamakkin yang menyimpang dari jalan syari’at dan Katib
Anom yang patuh pada syari’at. Berbeda dengan karya Kyai Mutamakkin yang asli,
yaitu ‘Arsy al-Muwahidin, yang bertolak belakang dengan isi Serat Cabolek.
Justru dalam karyanya yang asli Kyai Mutamakkin menekankan juga aspek syari’at
dalam Islam.
Perkembangan selanjutnya, pada abad ke-19
paham wahdat al-wujud berangsung-angsur ditinggalkan dan karya-karya Ibnu Arabi
nyaris tidak dikaji dan dibaca oleh ulama yang memiliki masa banyak. Hanyak
sedikit orang yang tertarik membaca dan memahaminya.
Di Jawa, muncul tiga tokoh yang cukup
berpengaruh, yaitu Ahmad Rifa’i (1875) dari Kalisalak yang produktif menulis dengan
bahasa Arab dan ditulis dengan syair-syair Arab Pegon, Muhammad bin Umar
al-Nawawi al-Bantani (1230/1813-1314/1897) dari Banten yang produktif menulis
kitab dengan bahasa Arab dan Muhammad Kholil dari Bangkalan Madur yang menulis
dan memiliki pesantren yang kelak melahirkan ulama-ulama yang sangat
berpengaruh di Indonesia. Di antara murdinya adalah KH. Hasyim Asy’ari.
Jaringan ulama yang di Jawa telah mengusung tasawuf sunni dan berorientasi pada
fikih. Tasawuf al-Ghazali sangat dominan dan mendapatkan peminat yang cukup
luas, khususnya kalangan santri, lantaran di pesantren terdapat kurikulum atau
ekstrakurikuler mata pelajaran kitab-kitab al-Ghazali. Sehingga paham wahdat
al-wujud tidak ada peminatnya. Cukup disayangkan memang, padahal sebelumnya sebagian
ulama telah berusaha mengawinkan tasawuf al-Ghazali dan Ibnu Arabi. Namun pada
abad ke-19 sampai sekarang justru tasawuf al-Ghazali lah yang berpijar dan
mengudara, sedangkan khazanah tasawuf Ibnu Arabi redup.
Penutup
Wihdat al-wujud masuk ke Indonesia pada abad
ke-12, bersamaan dengan masuknya Islam secara masif. Ada beberapa kendala yang
mengganjal perkembangan wahdat al-wujud di Indoneisa, di antaranya yaitu
pertama, masyarakat baru mengenal Islam, sehingga belum bisa diajak memahami
wahdat al-wujud yang cenderung rumit dan agak susah untuk difahami secara
maksimal. Kedua, lantaran konsep wahdat al-wujud cukup rumit, sehingga para
pengikut atau penggemarnya sering kali salah memahaminya, atau berlebihan yang
keluar dari jalur wahdat al-wujud yang dikonsepkan oleh pendahulunya. Para
ulama yang mengecam disebabkan para pengikut wahdat al-wujud tidak memahami
secara memadai, seperti lebih menekankan imanensi Tuhan tehadap alam, padahal
dalam pemahaman yang benar mestinya metafisika wihdat al-wujud sebagai konsep
tidak pernah menekankan salah satu antara imanensi dan transendensi Tuhan.
Justri orang seperti Ibnu Arabi, al-Jili dan Hanzah Fansuri menyeimbangkan
antara imanensi (tasybih) dan transendensi (tanzih) Tuhan.
Ada langkah-langkah cerdas dari kalangan
ulama penganut faham wihdat al-wujud demi menyelesaikan benang kusut perdebatan
dan polemik antar ulama serta resistensi masyarakat yang berkepanjangan
tersebut, yaitu pertama, memunculkan ajaran martabat tujuh yang menjelaskan
proses tajalli (manifestasi) al-Haq (Yang Maha Benar) secara sederhana dan
ringkas. Dan kedua, menyadari akan pentingnya harmonisasi antara syari’at dan
tasawuf. Dan mengkawinkan keduanya dalam satu entitas doktrin.
Namun, kecenderungan ortodoksi tasawuf dan
meninggalkan faham wahdat al-wujud semakin menguat di Indonesia semenjak abad
ke-18. Ada pembagian doktrin dan kitab tasawuf yang boleh diajarkan dan dikaji
dan ada yang dilarang. Dan doktrin dan
kitab tasawuf yang dilarang adalah kitab-kitab yang menjelaskan kandungan
doktrin wihdat al-wujud. Sampai abad ke-20, hampir tidak ditemukan pengajaran
tentang doktrin wihdat al-wujud, seperti kitab-kitab yang ditulis Ibnu Arabi,
di pesantren-pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia, kecuali
bagi orang-orang tertentu yang dianggap sudah mumpuni dan mampu mem-filter atau
memilih-memilah antara tasawuf yang benar dan salah dan itupun dipelajari
secara outodidak (belajar sendiri), bukan ada dukungan dari pesantren sebagai
lembaga.